REPUBLIKA.CO.ID,DISPUR -- Mohar Ali ditangkap sebulan lalu setelah membuka museum kecil di rumahnya, sebuah dusun di distrik Goalpara, negara bagian Assam, India timur laut. Museum ini didedikasikan untuk budaya 'Miyas', komunitas Muslim berbahasa Bengali di negara bagian itu.
Ali, yang merupakan pemimpin partai politik lokal, telah menghabiskan sekitar 7.000 rupee India untuk mendirikan tempat itu. Isi museum ini terutama menampilkan beberapa peralatan pertanian dan pakaian.
Namun dua hari kemudian, pihak berwenang setempat memutuskan untuk menutup museum tersebut. Mereka juga menyegel rumah Ali, menuduhnya salah dalam menggunakan rumah yang diberikan di bawah skema pemerintah untuk tujuan komersial. Polisi juga menangkap Ali dan dua orang lainnya yang membantu mendirikan museum.
Pihak kepolisian mengatakan kasus terhadap tiga orang ini tidak terkait dengan museum, namun karena dugaan hubungan mereka dengan dua kelompok teror. Ketiga pria tersebut, yang telah didakwa di bawah undang-undang anti-terorisme kejam yang membuat hampir mustahil untuk mendapatkan jaminan, membantah tuduhan tersebut.
Penangkapan tersebut mengejutkan komunitas Muslim Assam yang berbahasa Bengali dan membuat mereka merasa bingung. "Apa sebenarnya kejahatannya?" tanya ibu Ali dengan mata berkaca-kaca dikutip di BBC, Senin (28/11/2022).
Para kritikus mengatakan penangkapan itu adalah yang terbaru dari serangkaian upaya untuk meminggirkan komunitas di Assam, negara yang kompleks dengan multi-etnis. Mereka menyebut identitas linguistik dan kewarganegaraan adalah garis kesalahan politik terbesar.
Negara bagian tersebut, yang penduduk termasuk Bengali dan Hindu berbahasa Assam dan campuran suku dan Muslim, telah melihat gerakan anti-imigrasi melawan "orang luar" dari negara tetangga Bangladesh selama beberapa dekade. Muslim berbahasa Bengali, khususnya, sering dituduh sebagai imigran gelap.
Sejak berkuasa pada 2016, Partai Bharatiya Janata (BJP) telah mengumpulkan basis suara umat Hindu dan komunitas suku, dengan mengumumkan kebijakan yang menurut para kritikus diskriminatif terhadap Muslim. Beberapa politisi, termasuk menteri utama saat ini Himanta Biswa Sarma, juga menargetkan mereka dalam pidato.
Setelah kembali berkuasa pada 2021, BJP secara paksa mengusir ribuan orang dalam upaya kontroversial melawan perambahan ilegal, yang mana sebagian besar dari mereka yang terkena dampak adalah Muslim berbahasa Bengali. Awal tahun ini, pemerintah juga menyetujui klasifikasi lima kelompok Muslim sebagai komunitas "assam" yang menimbulkan kekhawatiran akan semakin terpinggirkannya kelompok lain.
"Muslim asal Bengali telah menjadi sasaran empuk politik. Idenya adalah menunjukkan kepada mayoritas [populasi] bahwa orang Miya bukan bagian dari masyarakat Assam. Mereka adalah musuh," kata seorang sarjana yang bekerja dengan komunitas tersebut, Dr Hafiz Ahmed.
Pemimpin senior BJP Vijay Kumar Gupta membantah hal ini. Ia mengatakan ada "orang lain" yang mencoba untuk menciptakan perselisihan di antara masyarakat. "Museum dimaksudkan untuk melestarikan warisan budaya suatu komunitas, tetapi hal seperti itu tidak terjadi di sini," ujar dia.
Di seluruh Asia Selatan, kata Miya digunakan sebagai sebutan untuk pria Muslim. Namun di Assam, kata tersebut dianggap merendahkan dan digunakan untuk menggambarkan ribuan petani Muslim yang bermigrasi dari bagian Benggala timur, yang sekarang berada di Bangladesh. Assam berbagi perbatasan sepanjang hampir 900 km (560 mil) dengan negara tetangga.
Sebagian besar migran ini menetap di chars, pulau-pulau di sepanjang dataran rendah Sungai Brahmaputra, di mana orang-orang dari komunitas lain juga tinggal. Penduduk chars sebagian besar adalah petani miskin dan pekerja harian, yang hidup dan mata pencahariannya bergantung pada perubahan suasana sungai.
Mereka juga menghadapi diskriminasi dan sering digambarkan sebagai "penyusup" yang mengambil alih pekerjaan, tanah dan budaya penduduk maupun suku yang berbahasa Assam.
Namun selama bertahun-tahun, banyak komunitas Muslim Bengali telah menerima sejarah mereka. Mereka mencoba untuk mengklaim kembali istilah Miya sebagai penanda identitas mereka yang berbeda.
Museum Miya di Goalpara diketahui didirikan di sebuah ruangan kecil, yang mana menyimpan beberapa alat pertanian tradisional, alat tangkap yang terbuat dari bambu, serta gamusa atau pakaian tenunan tangan tradisional Assam. Menurut Ali, apa yang ia berusaha tampilkan ini adalah bagian dari budaya orang Miya.
Tetapi, banyak pemimpin BJP menuduhnya mencoba menciptakan perpecahan di masyarakat. Mereka juga mengatakan artefak tersebut mewakili identitas Assam dan bukan komunitas Muslim berbahasa Bengali.
"Apakah ada komunitas yang bernama Miya?" ucap menteri utama Sarma bulan lalu, beberapa jam sebelum museum itu disegel.
Gagasan tentang museum semacam itu di pusat budaya terkemuka pertama kali diperdebatkan pada 2020, oleh mantan pemimpin Kongres Sherman Ali Ahmed. Pria ini sering dengan lantang mengadvokasi komunitas tersebut, tetapi menghadapi tentangan keras dari pemerintah Sarma.
Sebelumnya pada 2019, beberapa penyair mengalami masalah karena menulis puisi perlawanan yang berapi-api, yang mereka sebut sebagai "puisi Miya", dalam dialek komunitas alih-alih dalam bahasa standar Assam tulis. Sepuluh dari mereka didakwa mempromosikan permusuhan antar kelompok dengan alasan agama.
Sherman Ali Ahmed mengatakan menurutnya tidak tepat bagi Ali untuk membuka museum di rumah hibah pemerintah, tetapi hukuman yang diberikan terasa berlebihan. "Dia tidak melakukan kejahatan besar, tetapi pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap dia dan orang lain untuk menakut-nakuti masyarakat," lanjut dia.
Sumber:
https://www.bbc.com/news/world-asia-india-63628983