REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kehidupan keagamaan di Indonesia sangat dinamis. Dalam sejarah RI, hubungan antarumat beragama tidak selalu berjalan mulus. Acap kali, timbul gejolak yang menyinggung simbol-simbol religi di tengah masyarakat. Karena itu, kerukunan harus terus dipelihara dan disosialisasi.
Dalam tatanan bernegara, Kementerian Agama (Kemenag) berfungsi merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah pada bidang keagamaan. Dalam mengemban tupoksinya, Kemenag memiliki sejumlah perangkat institusi. Salah satunya adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan.
Puslitbang Satu—demikian sebutannya—secara struktural berada di bawah Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pendidikan Kilat (Balitbang Diklat) Kemenag. Badan itu bermula sejak tahun 1975. Seperti tampak pada namanya, fungsinya adalah melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang keagamaan, sekaligus pendidikan dan pelatihan pegawai, di bawah arahan menteri agama (menag).
Dapat dikatakan, Puslitbang Satu merupakan ujung tombak Kemenag dalam menyusun strategi-strategi pemantapan kerukunan antarumat beragama di Tanah Air. Sejak era pemerintahan Presiden Soeharto hingga zaman Reformasi, sentra penelitian itu selalu menghasilkan formula-formula yang tepat guna dalam menjaga harmoni keagamaan.
Sebagai contoh, sewaktu era menag H Alamsyah Ratu Perwiranegara (1978-1983), Puslitbang Satu berhasil mencetuskan dan memopulerkan Trilogi Kerukunan. Konsep itu terdiri atas gagasan mengenai harmoni di tingkat internal umat beragama, antarumat yang berlainan agama, dan antarumat dengan pemerintah.
Dalam pemahaman Islam di Indonesia, gagasan tersebut mengingatkan pada ide “tiga ukhuwah” yang disampaikan KH Achmad Siddiq, rais aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1984-1991. Dalam Musyawarah Nasional NU di Ponpes Ihya Ulumuddin Cilacap, Jateng pada 1987 dirinya memaparkan adanya tiga hal yang dapat menjembatani lintas entitas. Ketiganya adalah rasa persaudaraan antarsesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathaniyah), serta sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
Penulis tidak mendapati keterangan, apakah cetusan dari institusi negara itu menginspirasi tokoh Nahdliyin—ataukah sebaliknya. Yang jelas, adanya Trilogi Kerukunan merupakan suatu bukti hadirnya negara dalam mendukung perdamaian umat agama-agama di Tanah Air.
Sejak didirikan, Puslitbang Satu terus berkontribusi dalam merawat kehidupan keagamaan di Indonesia. Institusi ini berpengalaman 47 tahun lamanya dalam menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kajian, terutama mengenai kerukunan umat. Berbagai hasil risetnya berdampak nyata di tengah masyarakat.
Pelbagai telaah dilakukannya untuk mendalami akar konflik di beberapa daerah. Misalnya, konflik di Ambon, Maluku pada 1999 atau awal Era Reformasi. Untuk memecahkan masalah setempat waktu itu, para peneliti Puslitbang Satu berfokus pada ikhtiar-ikhtiar rekonsiliasi agar segera dapat dilakukan. Banyak di antaranya yang terjun langsung ke lapangan. Hasilnya menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjembatani perdamaian.
Romo Antonius Benny Susetyo mengatakan cukup banyak kiprah Puslitbang Satu dalam merawat kerukunan di Tanah Air. Satu hal yang disorotinya adalah upaya-upaya mengembangkan wawasan multikultural.
“Lembaga ini juga merumuskan arah kebijakan berdasarkan beberapa riset penelitian. Sering di dalamnya (penelitian-penelitian) saya terlibat,” ujar tokoh umat Katolik itu kepada Republika, baru-baru ini.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengungkapkan sebuah penelitian Puslitbang Satu yang mengesankan baginya. Institusi tersebut saat pandemi Covid-19 memuncak di Tanah Air mengadakan kajian tentang religiusitas warga dalam situasi wabah. Uniknya, riset itu berdasarkan pada pembacaan atas situasi umat agama-agama, tidak hanya Islam.
“Alhamdulillah, pada saat (pandemi) Covid-19 saya sering merujuk pada hasil penelitian dari Puslitbang Satu. Produk risetnya sangat membantu saya sebagai Ketua Satgas Covid-19 MUI,” kenang Kiai Cholil.