REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR – Indonesia dan Malaysia berduka atas kehilangan sosok cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra pada Ahad (18/9/2022). Dia mengembuskan napas terakhir pada usia 67 tahun di Rumah Sakit Serdang, Selangor, Malaysia.
Kehadiran beliau di Malaysia demi memenuhi undangan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) yang menggelar Konferensi Antarbangsa Kosmopolitan Islam. Beberapa hari sebelum berangkat, almarhum sempat berkomunikasi melalui WhatsApp dengan pihak ABIM. Dalam pesannya, dia mengaku senang bisa kembali ke Negeri Jiran.
“Alhamdulillah boleh kembali ke Kuala Lumpur, terakhir pada Desember 2019,” katanya. Tulisan almarhum yang berjudul Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Muslim Asia Tenggara” adalah tulisan terakhirnya.
Presiden ABIM Muhammad Faisal Abdul Aziz mengatakan Prof Azra bukanlah sosok asing bagi pimpinan dan warga ABIM. “Pemikirannya yang kritis serta berusaha membawa perubahan berasaskan dinamika pemikiran kontemporari. Ketajaman dan kecerdasan beliau dalam mengulas isu-isu pemikiran Islam lewat sejarah lampau amat menginspirasikan,” kata Faisal dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (19/9/2022).
Saat membahas gerakan Islah, Prof Azra meluruskan dan memperluas gerakan tersebut dengan discoursenya. Tulisannya yang berjudul The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (2004) telah menggariskan perjalanan gerakan reformasi Islam-Islāḥ pada kurun ke-17.
Karya tersebut menjadi catatan penting dan lengkap tentang gerakan Islāḥ yang dibawa tokoh ulama silam di alam Melayu. Faisal menyebut, Prof Azra membawa pemikiran reformis Islāḥ dan gagasan pembaharuan yang berakar dari hubungan dan jaringan keilmuwan serta pemikiran para ulama yang berpusat di Ḥaramayn.
“Beliau mengenengahkan bahawa dua disiplin ilmu dalam tradisi Islam banyak mempengaruhi jaringan ulama Ḥaramayn dengan ulama seluruh dunia yaitu, tradisi pengajian hadits dengan isnadnya dan tradisi tariqah sufiyah dengan silsilahnya,” ujarnya.
Hasil jaringan tersebut muncul sejumlah tokoh pembaharuan, seperti Shaykh Nūr al-Dīn al-Ranirī (1658), Shaykh ‘Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī (1693), Shaykh Muḥammad Yūsuf al-Maqassarī (1699), Shaykh Dawūd al-Faṭanī (1847), Shaykh ‘Abd al-Ṣamad al-Falimbanī (1785), dan Shaykh Muḥammad Arshad al-Banjarī (1812).
Menurut Prof Azra, tokoh-tokoh itu bukan hanya meluruskan pemikiran umat dalam beragama khususnya, dalam bidang ketauhidan aqidah melainkan telah membawa perubahan dalam pentadbiran serta keadilan sosial di wilayah masing-masing.
“Kepergian Azyumardi Azra adalah satu kehilangan besar untuk seluruh warga Muslim khususnya anak muda di rantau Asia Tenggara Malaysia-Indonesia. Selamat Jalan Guru Kami, semoga Allah merahmati dan ruhnya. Semoga tulisan dan sumbangan Sang Guru memberi inspirasi buat kami generasi muda untuk memperbaiki diri dan menyumbang lebih baik kepada agama dan warga sejagat,” tambahnya.
Advertisement