Sabtu 17 Sep 2022 11:35 WIB

Memperbaharui Perahu

Niat seumpama perahu yang sangat urgen dan fundamental dalam ibadah.

Warga menambatkan perahunya setibanya di pelabuhan Petasia, Teluk Tomori, Kolonodale, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Kamis (15/9/2022) (ilustrasi) Seorang Muslim dianjurkan untuk memperbaharui perahunya, maksudnya memperbarui niatnya.
Foto: ANTARA/Basri Marzuki
Warga menambatkan perahunya setibanya di pelabuhan Petasia, Teluk Tomori, Kolonodale, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Kamis (15/9/2022) (ilustrasi) Seorang Muslim dianjurkan untuk memperbaharui perahunya, maksudnya memperbarui niatnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Syamsul Yakin

Diceritakan bahwa Nabi berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari, seperti dikutip Syaikh Nawawi Banten dalam kitab  Nashaihul Ibad. Pesan itu berbunyi, "Wahai Abu Dzar perbaharuilah perahumu, karena laut itu dalam." 

Abu Dzar adalah seorang konglomerat pada masanya. Usahanya menggurita dari hulu hingga hilir. Menurut Syaikh Nawawi, nama aslinya adalah Jundab bin Junadah. Beliau wafat pada 652 Masehi. Abu Dzar menyaksikan wafatnya Nabi, yakni pada 632 Masehi.

Menurut Syaikh Nawawi yang dimaksud "Perbaharuilah perahu" pada hadits di atas adalah perbaiki niatmu. Jadi niat seumpama perahu yang sangat urgen dan fundamental dalam ibadah. Tujuannya adalah untuk meraih pahala dan keselamatan dari siksa. Bagi Syaikh Nawawi, niat yang harus diperbaiki adalah niat melakukan atau meninggalkan satu amal.

Sementara laut yang dalam adalah pralambang perjalanan yang berbahaya yang kalau keliru mengambil arah bisa   tercebur ke dasar laut, tidak ada yang dapat menolong. Dengan kata lain, perahu yang terus diperbaharui atau dirawat secara reguler dapat dipastikan tidak akan mudah karam di laut yang dalam.

Dalam hadits lain, Nabi juga memerintahkan untuk memperbaharui iman. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Perbaharuilah keimanan kalian." Ditanyakan, "Ya Rasulullah, bagaimanakah kami memperbaharui iman kami? Beliau menjawab,  "Perbanyaklah mengucapkan La Ilaaha Illallah."  (HR Ahmad).

Ada hubungan yang erat antara niat yang tulus dengan kalimat tauhid La Ilaaha Illallah. Seorang yang niatnya tulus segala yang dilakukan dan ditinggalkannya didedikasikan untuk Allah Yang Mahaesa. Hal itu diyakini hanya Allah yang menilai, mengawasi dan mengamati semua amal manusia, bukan yang lainnya. Karena itu orang yang akidah dan tauhidnya kukuh, niatnya tulus.

Para ulama masa lalu, seperti direkam Syaikh Nawawi, kerap saling memberi nasihat soal niat ini dengan cara menulis surat. Misalnya, pertama, seperti yang dilakukan Umar bin al-Khaththab (wafat 644 Masehi) kepada Abu Musa al-Asy'ari (wafat 665 Masehi). Umar menulis surat yang isinya, "Barangsiapa yang tulus niatnya, maka Allah cukupkan apa yang ada pada dirinya dan orang lain." Jadi kuncinya adalah niat.

Kedua, seperti yang dilakukan oleh Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khaththab (wafat 728 Masehi) kepada Umar bin Abdul Aziz (wafat 720 Masehi). Salim menulis surat yang isinya, "Pertolongan Allah kepada hambanya seukuran niatnya. Siapa saja yang tulus niatnya, sempurna pertolongan Allah untuknya. Namun siapa saja yang kurang niatnya, kurang juga pertolongan Allah untuknya."

Jadi niat ternyata terkait dua hal, pertama, terkait dengan dicukupkannya kebutuhan seseorang, baik pada dirinya maupun pada orang lain, seperti kata Umar bin al-Khaththab. Kedua, terkait dengan sempurna dan kurangnya pertolongan Allah kepada manusia seperti diutarakan Salim.  Berdasarkan hal ini, niat tidak hanya menjadi syarat diterimanya perbuatan dan diraihnya pahala.

Kesimpulannya, urusan akhirat serupa dengan laut yang dalam karena banyak prahara selama perjalanan menimpa. Misalnya rusaknya perahu, robeknya layar, putusnya tambang, dan habisnya perbekalan. Atau juga karena badai, topan, dan hujan yang tak habis-habisnya menerjang sepanjang perjalanan. Karena itu kata Nabi, "Perbaharuilah perahumu".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement