Kamis 28 Feb 2019 06:47 WIB

Memandang Wajah Ulama

Barangsiapa memuliakan ulama, berarti dia memuliakan Nabi Muhammad dan Allah.

Ulama dan tokoh masyarakat dari berbagai elemen organisasi bertemu dalam silaturahmi dan kongres Ulama se-Jawa Tengah. Pertemuan tersebut berlangsung di Gedung Purwo Hamijayan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Jum’at (22/6) malam.
Foto: Republika/Andrian Saputra
Ulama dan tokoh masyarakat dari berbagai elemen organisasi bertemu dalam silaturahmi dan kongres Ulama se-Jawa Tengah. Pertemuan tersebut berlangsung di Gedung Purwo Hamijayan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Jum’at (22/6) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsul Yakin

Dalam Lubab al-Hadits, Jalaluddin al-Suyuthi mengutip hadits Nabi SAW yang bersabda, “Barangsiapa yang menatap wajah seorang ulama kendati sekali pandangan saja, lalu hal itu membuatnya gembira, maka Allah menciptakan dari pandangan itu satu malaikat yang memohonkan ampun untuk dirinya hingga hari kiamat.”

Diungkap kembali oleh Syaikh Nawawi Banten dari kitab Riyadh al-Shalihin, bahwa Ali Ibn Abi Thalib berkata, “Memandang wajah seorang ulama adalah ibadah. Lalu berpendar cahaya dalam  pandangan itu dan terang cahaya di dalam hatinya. Ketika seorang ulama mengajarkan ilmu, maka satu tema yang diajarkan berhadiah satu istana di surga, Bagi yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya, akan mendapatkan hadiah serupa”.

Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang memuliakan seorang ulama, sungguh ia telah memuliakan aku.”  Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, “Karena ulama adalah kekasih Nabi SAW”. Lalu Nabi SAW melanjutkan, “Barangsiapa yang memuliakan aku, sungguh ia telah memuliakan Allah.”

Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, “Karena Nabi SAW adalah kekasih Allah SWT”. Nabi SAW bersabda lagi, “Barangsiapa yang memuliakan Allah, maka ia akan bertempat tinggal di surga.”   "Surga itu sendiri adalah tempat tinggal para kekasih Allah SWT”, demikian tulis Syaikh Nawawi Banten.

Oleh karena itu, terkait dengan hal ini Nabi SAW bersabda, “Muliakanlah ulama karena mereka adalah pewaris para nabi. Barangsiapa yang memuliakan mereka, sungguh ia telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”  Hadits ini diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi bersumber dari Jabir.

Nabi SAW bersabda, “Seorang ulama yang sedang tidur lebih utama ketimbang orang bodoh yang sedang beribadah.”  Hadits ini menurut Syaikh Nawawi Banten maksudnya adalah bahwa  seorang ulama yang sedang tidur yang memperhatikan tata aturan keilmuan lebih utama ketimbang orang bodoh yang sedang beribadah namun tidak memahami tata aturannya.

Lebih tegas lagi, Nabi SAW jelaskan, “Tidur dengan berdasar ilmu lebih baik ketimbang shalat berdasar kebodohan." Hadits ini diwayatkan oleh Abu Nu’aim dengan sanad dhaif. Mengapa begitu? Menurut Syaikh Nawawi Banten, “Karena orang yang bodoh terkadang menduga yang membatalkan itu dianggap sah dan yang dilarang itu sebagai yang dibolehkan”.

Menurut Dirar Ibn al-Azwari al-Shahabi, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan penuh kebodohan, maka potensi merusak lebih besar dari memperbaiki.”Watsilah Ibn al-Asqa’a juga berkata, “Orang yang beribadah tanpa ilmu fikih ibarat sekawanan keledai penggiling tepung”.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement