Kamis 08 Sep 2022 21:17 WIB

Dampak Buruk Kenaikan Harga BBM dan Solusinya Menurut Muhammadiyah

Muhammadiyah menilai kenaikan harga BBM berpengaruh pada ekonomi masyarakat

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
SPBU di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan.  (ilustrasi). Muhammadiyah menilai kenaikan harga BBM berpengaruh pada ekonomi masyarakat
Foto: Republika/Prayogi
SPBU di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan. (ilustrasi). Muhammadiyah menilai kenaikan harga BBM berpengaruh pada ekonomi masyarakat

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – PP Muhammadiyah menyampaikan pandangan dan rekomendasi terkait kenaikan harga BBM yang telah ditetapkan pemerintah. 

Wakil Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna, menuturkan garis dakwah Muhammadiyah adalah amar makruf nahi mungkar. Teologi perjuangannya adalah teologi Al Ma'un dan Al Ashr.

Baca Juga

"Dalam konteks kenaikan harga BBM, tentu telah berefek domino, bukan semata ke efek ekonomi, tapi juga sosial, budaya, dan lainnya. Efek ekonomi terkait peningkatan inflasi, yang diestimasikan akan mendekati angka dua digit," kata Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta itu kepada Republika.co.id, Kamis (8/9/2022). 

Jika inflasi naik, terang Mukhaer, tentu akan menggerus daya beli masyarakat sehingga tingkat konsumsi rumah tangga terganggu. 

Inflasi yang tinggi berdampak peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Banyak perusahaan berhadapan dengan ongkos poduksi yang makin tinggi.

"Demikian pula bagi pelaku usaha ultramikro, mikro, dan kecil. Mereka makin terkapar. Belum pulih dipukul pandemi Covid-19, kemudian dipukul lagi oleh kenaikan harga BBM. Mereka sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Namun, bagi usaha besar dan pemilik modal besar, saya kira mereka akan cepat beradaptasi," ujarnya.

Mukhaer mengungkapkan, bagi Muhammadiyah, persyarikatan akan mengadvokasi, memberdayakan, dan membantu mereka. 

Walaupun ini tanggung jawab pemerintah, tetapi bagi Muhammadiyah, tidak boleh satu orang pun di negeri ini teraniaya, sehingga Muhammadiyah pun harus membantu. Apalagi jika mereka teraniya oleh kebijakan yang tidak adil.

"Karena itu, langkah yang tepat, pertama, jika alokasi subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran atau banyak dinikmati oleh kelompok orang mampu, maka tidak elok jika kesalahan dari ketidaktepatan sasaran itu dibebankan kepada rakyat atau pelaku usaha rentan. Pemerintah harus bertanggungjawab," jelasnya.

Kedua, Mukhaer meminta agar hitung ulang cara perhitungan komposisi penetapan harga BBM secara terbuka. 

Dia mempertanyakan mengapa Indonesia Crude Price (ICP) hanya mendasarkan pada harga Brent dan Texas, dan mengapa tidak mengimpor atau mengakses harga minyak mentah Rusia yang harganya jauh lebih murah.

"Ketiga, lanjutkan program B-40 untuk mengurangi jumlah impor minyak mentah. Keempat, buat kebijakan fleksibilitas harga. Jika harga mentah turun, mestinya harga BBM di pasar domestik kembali turun," tutur dia.

Mukhaer juga menyadari, setelah harga BBM naik, sektor-sektor lain juga akan mengalami kenaikan harga. Dengan kata lain, akan ada efek domino ke sektor lain. Maka, hal itu terkait dengan bantalan sosial (Bansos), terutama kaitan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan pemerintah.

Menurut Mukhaer, sejak dulu masalah BLT ini selalu bermasalalah. Bahkan bisa jadi menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Menyelesaikan masalah di kantong kanan, tapi bocor lagi di kantong kiri.

Lazimnya BLT digunakan untuk belanja konsumsi kebutuhan sehari-hari, membayar biaya pendidikan, membeli obat, membayar utang dan kegiatan lainnya. 

"Tetapi ada juga yang digunakan membeli pulsa, membeli rokok atau kebutuhan tak penting lainnya. Bahkan, penerima bisa menghabiskan bantuan hanya dalam satu atau dua pekan," ucapnya. 

Mukhaer memaparkan, pelaksanaan BLT sering memberikan dampak fisiologis buruk. Misalnya kemalasan dan ketergantungan penerima kepada pemerintah. 

Ini hanya sebagai pelipur lara dari rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Karena itu, dia memandang, perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap jenis bantuan, model penyaluran dan faktor teknis lainnya yang terkait.

"Rekomendasi saya, kalau bisa BLT diserahkan bukan kepada Kepala Rumah Tangga, tapi kepada Ibu Rumah Tangga (IRT). Perempuan lebih efektif dan tepat manfaat dibanding suami atau laki-laki. Pemanfaat untuk aktivitas ekonomi rumah tangga lebih konsen jika ditangani IRT. Selain itu, lakukan dengan cara tanggung-renteng. Model saling-mengawasi secara berkelompok, model ini diyakini lebih produktif," paparnya.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement