Senin 05 Sep 2022 22:03 WIB

Ini Latar Belakang Digelarnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Kiprah dan tradisi keulamaan perempuan tidak hanya berakar pada norma-norma teologis.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Ilustrasi)
Foto:

Ia mengatakan, keimanan ini menuntut seluruh jaringan KUPI untuk terus melakukan kerja-kerja perlindungan Tanah Air dan ketahanan bangsa dari ideologi yang intoleran yang menganjurkan kekerasan dan praktik-praktik destruktif bagi keutuhan bangsa, terutama yang berdampak bagi rakyat miskin, perempuan, dan anak-anak.

Ia menyampaikan, dalam konteks gerakan keadilan gender di Indonesia, KUPI menjadi momentum historik yang dapat menyatukan inisiatif-inisiatif komunitas dan lembaga-lembaga yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Baik di antara kalangan akademisi, praktisi pendidikan Islam terutama pesantren, aktivis organisasi keislaman, praktisi pemberdayaan di akar rumput, bahkan para aktivis gender.

Kerja-kerja pendidikan publik tentang isu-isu keadilan gender, setelah KUPI, tidak saja mengkonsolidasikan berbagai lembaga dan komunitas, tetapi menambah keterlibatan berbagai komunitas keagamaan terutama pesantren. Telah lahir komunitas-komunitas ulama perempuan di berbagai daerah, terutama Jawa. Seperti komunitas Ngaji Keadilan Gender Islam, komunitas Mubadalah, dan berbagi majlis ta’lim jaringan KUPI.

"Isu-isu keadilan gender Islam, melalui tokoh-tokoh KUPI, juga diserap media- media populer yang mainstream di Indonesia, seperti Islami.co, Nuonline, Republika, Bincangsyari’ah, Iqra.id, Alif.id, Mubadalah.id, Swararahima.com, Rahma.id, Qobiltu. com, Neswa.id, harakatuna, dan banyak lagi yang lain," jelas Nyai Masruchah.

Ia menjelaskan, kelahiran KUPI sekaligus seperti membuka jalan bagi membanjirnya berbagai konten kreatif isu-isu keadilan gender Islam, yang sebelumnya sangat minim, bahkan bisa dibilang tidak tersedia.

Saat ini, KUPI yang awalnya merupakan kegiatan sebuah kongres, telah berubah menjadi gerakan yang berusaha menghimpun semua individu dan lembaga yang meyakini nilai-nilai keislaman, kebangsan, kemanusiaan, dan kesemestaan, dengan paradigma dasar keadilan relasi laki-laki dan perempuan.

Nyai Masruchah menerangkan, karena berupa gerakan, bukan lembaga, dengan berbagai keberhasilan yang telah dicapai di atas, tentu saja ada banyak tantangan dihadapi, selain terbuka pada peluang-peluang yang memungkinkan. Di antaranya soal ketersediaan kerangka gagasan yang mudah dipahami seluruh elemen dan jaringan KUPI, ketersediaan sumber daya manusia yang mampu dan bersedia menyampaikan gagasan-gagasan tersebut kepada berbagai stakeholder yang membutuhkan, terutama masyarakat yang lebih luas, korelasi diskursus dan praktik realitas kehidupan di lapangan, konsolidasi kerja-kerja individu, lembaga, dan komunitas yang meyakini gerakan ini, dan keterhubungan dengan jaringan luar negeri yang bisa menguatkan KUPI dan membutuhkan peran serta ulama perempuan Indonesia dalam kerja-kerja global membumikan peradaban manusia yang bermartabat, adil, dan maslahat, yang memanusiakan secara penuh perempuan.

"Untuk ini semua, akan diselenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang kedua di Semarang dan Jepara pada 23-26 November 2022," kata Nyai Masruchah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement