Senin 05 Sep 2022 20:25 WIB

Ketua MUI: Perempuan Punya Kesempatan Terbuka Menjadi Ulama

Ada sejumlah syarat yang harus ditempuh untuk menjadi seorang ulama.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ketua MUI: Perempuan Punya Kesempatan Terbuka Menjadi Ulama. Foto: Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof  Dr  Amany Lubis MA.
Foto: Dok IKALUIN Syarif Hidayatullah
Ketua MUI: Perempuan Punya Kesempatan Terbuka Menjadi Ulama. Foto: Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Amany Lubis MA.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga (PRK), Prof Dr Amany Lubis menyampaikan, perempuan Indonesia memiliki kesempatan yang luas untuk menjadi ulama. Dia mengatakan, sarana dan fasilitas sudah diberikan secara luas oleh kalangan ulama secara umum, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintah.

"Bahkan dunia sangat menanti kiprah ulama perempuan Indonesia," kata Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu kepada Republika.co.id, Senin (5/9/2022).

Baca Juga

Amany sendiri pernah berceramah di depan Raja Maroko Muhammad VI yang dihadiri para ulama, masyayikh, dai, qari, pemikir dan cendekiawan Muslim dari berbagai negara. Ceramah tersebut dilakukan pada ad-Durus al-Hasaniyah ar-Ramadhaniyah, yang merupakan pengajian ilmiah di depan Raja Maroko setiap bulan Ramadhan.

Menurut Amany, ada sejumlah syarat yang harus ditempuh untuk menjadi seorang ulama. Syaratnya antara lain menguasai Alquran dan ilmu-ilmu Alquran, hadits dan kualitas hadits serta ilmu-ilmu hadits. "Demikian juga fiqih. Bukan hanya fiqih madzhabi yang tradisional, tetapi yang aktual dan komprehensif serta implementatif," tuturnya.

 

Ulama perempuan, terang Amany, juga harus mengetahui dan memahami realita sosial, politik, agama, pertahanan, dan kebangsaan. "Semua itu apabila dikuasai seorang perempuan dan dia punya wawasan keagamaan maka dia bisa disebut ulama," terangnya.

Karena telah diberi kesempatan yang lebar, Amany mengungkapkan, lahirnya ulama-ulama perempuan di masa depan secara masif bergantung pada perempuan itu sendiri. Menurut dia, penciptaan ulama perempuan secara masif tidak bisa dirancang. "Tergantung perempuannya, karena kesempatannya sudha terbuka luas. Tinggal perempuan sendirilah yang berani dan mampu menggunakan peluang yang ada, atau tidak," katanya.

Ulama perempuan, tutur Amany, harus menjaga reputasi dan jangan hanya eksis ketika sedang populer tetapi kemudian redup. Dia mengingatkan, seorang ulama perempuan harus siap sepanjang hayatnya dan juga perlu memiliki karya tulis yang bisa dirujuk oleh generasi selanjutnya. "Syarat-syarat inilah yang harus didorong agar perempuan bisa lebih eksis," ungkapnya.

Amany juga memuji keberadaan majelis taklim di Indonesia. Menurutnya, majelis taklim yang diikuti oleh jamaah dari kalangan perempuan hanya ada di Indonesia. Majelis taklim merupakan kesempatan bagi Muslimah Indonesia untuk mampu berbicara dan berdakwah serta bisa menyampaikan ilmu-ilmu yang aktual. "Menyatukan diri dengan pembangunan nasional dan manusia, itu sangat positif. Jadi saya optimis untuk pengembangan perempuan Indonesia," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement