REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) telah mencanangkan penetapan Hari Anti Islamofobia setiap tanggal 15 Maret. Usulan ini menuai respons positif dari banyak kalangan di Indonesia, khususnya kalangan alim ulama.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan, rencana ini harus didukung demi menangkal potensi memburuknya fenomena islamofobia di dunia. Meski begitu, dia meragukan jika upaya PBB ini dapat membumihanguskan praktek islamofobia yang semakin ke sini semakin mengkhawatirkan.
“Saya rasa Islamofobia sampai akhir zaman pun tidak akan pernah berhenti, karena ini sudah tersurat dalam Alquran, surah Al-Baqarah ayat 120,” ujarnya saat menjadi keynote speaker di Forum Group Discussion Anti Islamofobia yang digelar di Masjid Al-Fajr, Buah Batu, Kota Bandung, Sabtu (16/7/2022).
“Terjadinya Islamofobia sudah ada sejak zaman kenabian, maka jangan patah semangat menghadapi gempuran orang orang anti-Islam. Cuma yang terasa kenapa akhir akhir ini gempurannya semakin dahsyat,” sambungnya.
Menurutnya, sikap anti islam merupakan bentukan pihak-pihak yang ingin menjadikan Islam sebagai musuh baru negara-negara blok barat, setelah Uni Soviet kalah telak. Meski Soekarno telah membentuk kelompok negara non blok, demi menghindari efek konflik blok barat dan blok timur, namun upaya ini dinilai tidka berjalan mulus.
“Begitu Uni Soviet hancur, Blok Barat tidak lagi punya musuh bersama. Padahal adanya musuh bersama ini menjadi perekat negara-negara blok barat, lalu muncullah ketakutan di antara negara blok barat, karena saat tidak ada lawan maka kemungkinan akan ada pertarungan saudara, maka untuk menghalaunya adalah mencari musuh baru. Lalu muncullah usulan untuk menjadikan islam sebagai musuh bersama,” klaim petinggi MUI yang akrab disapa Buya itu.
Dia berpendapat bahwa semakin tampaknya gerakan anti Islam merupakan buah dari penanaman stigma buruk Islam di mata dunia. Menurutnya, saat Blok Barat dan Blok Timur masih menjadi lawan yang sama-sama kuat, tidak ada satu pun dari blok tersebut yang mempermasalahkan keeksistensian umat Muslim.
“Sejak itu (Blok Timur melemah), mulai terjadi rekayasa agar mereka yakin bahwa islam adalah agama yang berbahaya. Karena saat uni Soviet masih ada, mereka tidak menghiraukan negara negara islam, karena mayoritas adalah negara negara miskin atau berkembang,” ujarnya.
“Jadi kesimpulan saya, apa yang menyerang umat Muslim, seperti kejadian bom Bali atau kejadian 9/11 di Amerika, itu adalah hasil dari sebuah skenario untuk merusak citra islam supaya islam betul dianggap sebagai sebuah ancaman. Itu ciptaan blok barat demi membumikan citra islam sebagai agama kejam,” tambahnya.
Pelabelan ini, kata dia, tak lain didasari rasa khawatir dan ketakutan negara Blok Barat dengan pergerakan Islam yang semakin menyebar di seluruh dunia. Menurut mereka, Islam dapat menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan agama mereka, merujuk pada mulai diterimanya Islam di negara-negara barat.
“Islam yang mereka takuti itu bukan Islam timur tengah atau Iran karena islam disana bagi orang orang Amerika adalah Islam yang keras. Yang mereka takuti adalah Islam Asia Tenggara terutama Islam Indonesia dan Malaysia, karena itu adalah Islam yang moderat dan lemah lembut, sejuk dan teduh. Dan ini dianggap berpotensi menguras pada pengikut agama mereka,” pungkasnya.