REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Muhammadiyah sudah memutuskan Idul Fitri 1443 Hijriah jatuh pada 2 Mei 2022. Meski begitu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengatakan, tidak perlu jadi persoalan bila nantinya terjadi perbedaan.
Ia mengajak, seluruh masyarakat dan elite bangsa agar dengan sikap yang saksama, ukhuwah dan mengedepankan kebersamaan dan tidak perlu ramai. Apalagi, saling berbantah maupun berargumen menunjukkan kekuatan masing-masing hadapi perbedaan.
Sebab, Haedar menekankan, selama ini baik di Indonesia maupun di dunia Islam, sering terjadi perbedaan-perbedaan dalam mengawali bulan Ramadhan, Idul Fitri, bahkan Idul Adha. Karenanya, tidak perlu dipermasalahkan perbedaan yang ada.
Selain itu, ia mengimbau agar pemerintah sebagai pengayom memberikan ruang yang leluasa bagi perbedaan tersebut. Sebab, Haedar mengingatkan, yang paling penting sebenarnya bagi seluruh umat Islam, makna dan nilai dari puasa dan Idul Fitri.
Menjadi orang yang saleh, beriman, bertaqwa, semakin baik, toleran terhadap perbedaan, tapi satu sama lain saling mengayomi dan saling menenggang. Lebih dari itu, memanfaatkan ibadah untuk menebar kebaikan yang rahmatan lil alamin.
"Jangan sampai kita ribut soal perbedaan, lalu kita abai dalam memaknai ibadah dan memaknai segala macam ritual keagamaan menjadikan diri kita saleh maupun memberi rahmat bagi alam semesta," kata Haedar di Yogyakarta, Kamis (28/4/2022).
Soal kalender Islam global, ia menegaskan, Muhammadiyah terus mempublikasikan dan mendialogkan. Sekaligus, mencari forum-forum agar dunia Islam memiliki kalender global. Ini dinilai penting sebagai titik pijak mengurangi perbedaan.
Salah satunya agar ada kesatuan di seluruh dunia Islam dalam mengawali Ramadhan, Idul Fitri dan lain-lain. Yang paling jadi konsen Muhammadiyah, umat Islam pada era dunia modern, 4.0, peradaban maju semakin memerlukan kepastian soal waktu.
Hal itu dikarenakan waktu seperti tanggal dan hari terkait aktivitas hidup kita. Sehingga, ia menyarankan, kita tidak lagi on the spot dalam menentukan tanggal dan hari pelaksanaan ibadah, karena semua sudah memiliki regulasi yang pasti.
"Berdasarkan perhitungan-perhitungan yang ilmiah, tapi secara syariat dapat dipertanggungjawabkan. Tapi, itu perlu proses dialog antara semua komponen, bahkan antar negara," ujar Haedar.