Maqam Alumnus Ramadhan
“Tidak ada satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang Muslim berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” (HR. Muslim)
KUDUS, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Kudus menyelenggarakan pengajian Ramadhan yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama, sholat Isya’ dan tarawih berjamaah. Pengajian yang dibuka oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Kudus, Rusnoto, SKM, M. Kes (Epid) ini diikuti oleh Pengurus Badan Pembina Harian, dosen dan tenaga kependidikan secara luring pada Senin, 18 April 2022 bertempat di ruang serbaguna UMKU,.
Dr. Drs. H. Rozihan, S.H., M.Si. sebagai Wakil Ketua Badan Pembina Harian UMKU berkesempatan hadir untuk menyampaikan materi pengajian dengan tema “Maqam Alumnus Ramadhan”, Rozihan yang juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, menyampaikan, “beberapa hal yang dapat kita gunakan untuk mengukur keberhasilan ibadah puasa dengan meraih derajat takwa. Ada empat hal untuk mengukurnya, diantaranya adalah syakur, sabar, tafwidh dan ikhlas.”
Menurut Rozihan, maqam syakur secara istilah ada 3 (tiga), yaitu tahmid, syakur dan syukur.
Pertama, tahmid. Ungkapan spontanitas seorang yang baru saja merasakan nikmat dan karunia Allah SWT dengan mengucapkan lafadz Alhamdulillah.
Kedua, tafwidh. Sebagai kelanjutan dan menyempurnakan tahmid, dengan mengeluarkan hak-hak orang lain dari nikmat Allah SWT yang kita peroleh.
Ketiga, Syakur. Dengan mensyukuri segala sesuatu yang datang dari Tuhan, termasuk musibah, penderitaan dan kekecewaan. “Hanya sedikit sekali di antara hambaKu yang mampu mencapai tingkat syukur” (QS Saba’: 13)
Dalam keadaan sehat maupun sakit, bahagia atau sedih, di bawah ataupun di atas, sikap syakur akan mengantarkan seorang Muslim pada ketenangan yang begitu memberinya rasa nyaman. Bersyukur sebagai pintu untuk mendapatkan rasa nyaman menjalani tugas sebagai khilafah Allah di muka bumi ini.
Maqam tafwidh yaitu jenjang kepasrahan kepada Tuhan dibagi menjadi 3 (tiga) :
Pertama, Saliki. Orang yang baru menapaki jalan pencarian Tuhan, mulai berkenalan dengan tingkat kepasrahan kepada Allah SWT. Ia harus bersabar dan pasrah menerima kenyataan apapun dari Allah SWT. Kepasrahan ini biasa disebut tawakkal.
Kedua, Taslim. Lebih banyak menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Dimana upaya seseorang mulai mengecil dan sebaliknya Allah SWT dirasakan lebih proaktif mengatasi tantangan dan masalahnya.
Ketiga, Tafwidh. Sebagai pasrahnya orang khawasul al-khawash. Kepasrahan dalam arti yang bersangkutan betul-betul pasrah secara total dan karena itu Allah SWT yang Maha Proaktif. Orang yang sudah sampai pada maqam spiritual tafwidh ini perlu berhati-hati, ia sudah berada dalam pengawasan penuh Allah SWT.
Maqam Mukhlasin, Dalam Al-Qur’an, orang-orang ikhlas dibedakan menjadi 2 yaitu:
Pertama, Mukhlis. Ia masih sadar bahwa ia tengah mempraktikkan sikap ikhlas. Dengan kata lain, memorinya masih mencatat dan mengidentifikasi amal-amal kebaikan yang dilakukannya.
Kedua, Mukhlas. Tidak menyadari bahwa dirinya sedang dalam keadaaan ikhlas. Keikhlasan merupakan sebuah kebiasaan dan karakternya.
Pernyataan para sufi mengenai makna mukhlas, yaitu Ikhlas adalah ibadah yang paling sulit bagi jiwa, diri manusia tidak memiliki bagian di dalamnya (Sahl bin Abdullah al-Tustari). Ikhlas adalah barangsiapa melihat dalam keikhlasannya suatu keikhlasan, maka keikhlasannya itu masih memerlukan keikhlasan lagi (Abu Ya’kub As-Susiy Rahimahullah).
Menghentikan suatu amal karena manusia adalah riya’, dan mengerjakan sesuatu karena manusia adalah syirik (Fudhail bin ‘Iyadl). Jika keikhlasan seseorang baru sampai di tingkat keikhlasan awal maka tidak ada jaminan untuk bebas dari godaan setan. Sebaliknya, mereka yang telah mencapai tingkat al-mukhlasin tidak hanya terhindar dari cengkraman iblis, juga akan terhindar dari fitnah dan berbagai kecelakaan sosial.
Maqam Mashabir. Sabar tidak sama pendiam atau tidak melawan, sabar adalah melakukan pengendalian diri di saat kita memiliki kemampuan. Kemampuan untuk mencegah berbagai keinginan nafsu disaat kita memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu. Dalam Al-Qur’an dibedakan antara shabiir dan mashabir. Shabir, menunjukkan kepada orang yg sabar, tetapi kesabarannya masih temporer, masih memberi batas, dan sewaktu-waktu masih bisa lepas kontrol sehingga kesabaran menjadi lenyap.
Sedangkan Mashabir, Orang yang sabar, dan kesabarannya bersifat permanen tanpa batas. Shabur, Hanya berlaku untuk Allah, karena ia sama sekali tak terpengaruh dengan ulah dan tingkah laku hamba-Nya. Se-kufur dan se-zalim apapun hamba-Nya, ia tetap tidak bergeming, dan tetap bersedia memaafkannya.
Kesabaran ditingkat awal, yang masih menyisakan sedikit keluhan (Shabiir), sedangkan kesabaran tingkat akhir, sudah tidak ada lagi keluhan (Kasus Nabi Ayub sudah bersahabat dengan penyakit dan penderitaan) termasuk Mashabir. Adanya ungkapan, “Saya sudah maafkan tapi belum bisa melupakan” itu ungkapan shabiir, memaafkan dan kembali ke titik nol adalah mashabir. Jika sudah sampai ke tingkat ini, yang tampil adalah beberapa keajaiban dalam dirinya. Karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. (Supardi)