REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia saat ini perlu dibarengi dengan menghadirkan kembali agama sebagai basic trust hidup. Apabila seseorang beragama maka dia akan tahu apa yang sedang dilakukannya di dunia serta dia tahu persis makna hidup dan tindakannya, baik penderitaannya maupun kematiannya.
Sejurus dengan itu, religiusitas dalam Islam tidak semata melihat aspek spiritualitas atau keruhanian saja, tapi terkoneksi dengan akal. Sehingga, keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan atau tidak saling bertentangan.
"Dia tahu standar-standar etik dan dasar-dasar moral yang harus diikutinya," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, dalam Pengajian Ramadhan yang digelar di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (5/4/2022).
Haedar melihat kehidupan manusia saat ini mengalami persoalan ruhaniah yang serius. Banyak ranah berdimensi metafisik dibuat teknis. Kematian dianggap teknis-teknologis, sehingga manusia pasca revolusi saintifik membuat proyek pemanjangan usia.
Sejak era modern sampai postmodern dan disrupsi, lanjut dia, permasalahan kemanusiaan dengan berbagai dimensi justru terletak di nalar instrumental serba teknis, teknologis dan pragmatis. Bahkan ancaman perubahan iklim lebih total dan lebih luas ketimbang bom.
"Berbagai bencana alam yang tidak lagi alami bahkan semakin marak. Badai kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak dapat dihirup, wabah akibat pemanasan serta, ambruknya ekonomi semakin terasa. Kemudian juga konflik akibat iklim terkait dengan perubahan iklim global semakin bermunculan," terangnya.
Kondisi kehidupan menurut Haedar sudah diambang kepunahan. Manusia tidak dapat lagi memilih planet karena ini jadi tempat satu-satunya di semesta yang dapat disebut sebagai rumah. "Akibatnya atas nama kebebasan pemikir liberal-sekuler, manusia jatuh ke nol dehumanisasi sistematik," ujarnya lebih lanjut.
Risalah pencerahan
Menyikapi kondisi yang terjadi sekarang ini, lanjut Guru Besar Ilmu Sosiologi UMY ini, Muhammadiyah sebetulnya secara mendalam dan progresif telah memberi jawaban atas kehidupan masyarakat modern yang mengalami perubahan dengan segala kecenderungannya. Hal tersebut bisa dilihat dari Risalah Pencerahan yang dideklarasikan di Tanwir Muhammadiyah 2019 di Bengkulu.
Dalam risalah tersebut, Muhammadiyah menegaskan bahwa beragama harus mencerahkan dan mengembangkan pandangan, sikap, dan praktik keagamaan watak tengahan. Selain itu juga membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, serta menjunjung tinggi keadaban mulia.
Ia mengungkapkan dalam risalah tersebut juga disampaikan bagaimana memajukan kehidupan umat manusia yang diwujudkan dalam sikap hidup amanah, adil, ihsan, toleran, kasih sayang terhadap umat manusia, tanpa diskriminasi. Tidak kalah penting juga adalah menghormati kemajemukan dan pranata sosial sebagai aktualisasi nilai rahmatan lil alamin.
Beragama yang mencerahkan lanjut Haedar akan menghadirkan risalah agama untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan. Berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural.
"Gerakan pencerahan itu menampilkan agama yang menjawab masalah kekeringan rohani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan. Beragama juga harus yang mencerahkan dengan khazanah Iqra," ungkapnya.
Sebaliknya, lanjut Haedar, kita juga harus menjauhkan diri dari sikap yang saling merendahkan. Baik itu tajassus, suudhan, memberi label buruk, menghardik, menebar kebencian, bermusuh-musuhan, dan perangai buruk lainnya yang menggambarkan akhlak tercela.
"Kita dapat menyebarluaskan penggunaan media sosial yang cerdas disertai kekuatan literasi yang berbasis tabayun, ukhuwah, ishlah, dan taaruf yang menunjukkan akhlak mulia," ujarnya lagi.
Jihad sebagai ikhtiar
Oleh karena itu, dalam beragama yang mencerahkan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan. Untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Jihad dalam pandangan Islam bukan perjuangan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Dengan spirit beragama mencerahkan, umat Islam berhadapan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi.
Dari perjuangan melawan sesuatu kepada perjuangan menghadapi sesuatu dalam wujud memberi jawaban-jawaban alternatif terbaik mewujudkan kehidupan yang lebih utama. Ia berpendapat, beragama mencerahkan diperlukan membangun manusia Indonesia.
Hal ini lanjut dia mengandung makna bahwa beragama yang mencerahkan itu yang religius, berkarakter kuat dan berkemajuan untuk hadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain. Makna ini penting demi masa depan Indonesia berkemajuan yang dicirikan kapasitas mental yang membedakan dari orang lain.
"Seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip dan sifat-sifat khusus lain," kata Haedar.
Sedangkan, nilai-nilai kebangsaan lain yang harus terus dikembangkan nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan. Beragama mencerahkan diwujudkan dalam kehidupan politik yang berkeadaban luhur.
Disertai jiwa ukhuwah, damai, toleran, dan lapang hati dalam perbedaan pilihan politik. Seraya menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah ini, kita dijauhkan berpolitik yang menghalalkan cara, menebar kebencian dan permusuhan, politik pembelahan yang mengakibatkan rusaknya kehidupan kebangsaan.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bermisi dakwah dan tajdid berkomitmen kuat wujudkan Islam sebagai agama mencerahkan kehidupan.
"Jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah niscaya menunjukkan pencerahan yang Islami, sebagaimana diajarkan oleh Islam serta diteladankan dan dipraktikkan oleh Nabi akhir zaman," tegas Haedar.