“Ketika saya mencoba meninggalkan Kharkiv dengan kereta api, kereta terpaksa mengalihkan jalurnya (karena pengeboman). Perjalanan yang harusnya 12 jam menjadi 36 jam. Kami tidak tahu di mana orang-orang Rusia itu berada dan apakah kami aman atau tidak,” ujarnya.
"Pikiran saya terlempar kembali ke Gaza; pengeboman terdengar sama, pesawat terdengar sama, dan kami dipenuhi ketakutan apakah kami akan hidup atau mati,” kata Samar.
Pada 2014, Samar kehilangan sejumlah kerabatnya selama agresi Israel di Gaza dan ingin memastikan keluarganya tidak mengalami hal serupa. Ibunda Samar turut berbagi kisah membagikan kecemasannya atas kondisi putrinya yang jauh dari rumah. Hal-hal mengerikan terus membayanginya, memikirkan putrinya yang tinggal sendiri di Ukraina.
“Itu tidak mudah, putri saya berada di negara asing yang hidup melalui perang sengit lainnya. Saya tidak tidur selama seminggu penuh,” ujar ibu Samar.
Ketika Samar kembali ke rumah, dia diliputi emosi. "Begitu saya melihat ibu, saya memeluknya erat-erat dan menangis seperti saya belum pernah menangis sebelumnya dalam hidup. Saya mengatakan kepadanya tidak pernah ingin jauh darinya lagi,” ujar Samar sambil menangis.
Terlepas dari keadaannya, nasib pendidikan Samar tetap tidak diketahui. Samar berharap perang akan segera berakhir dan hidup kembali normal.
"Perang menghancurkan kehidupan, tujuan, impian, dan masa depan. Saya tidak tahu apakah saya akan dapat kembali belajar, saya tidak tahu apakah perang akan berakhir,” ujarnya.