Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price mengatakan, Amerika Serikat berkomitmen untuk mengejar kebenaran dan keadilan bagi para korban dan pertanggungjawaban bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman ini dan atas pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya di seluruh Myanmar.
"Pada 2016 dan 2017, militer Burma melancarkan gelombang kekerasan mengerikan di negara bagian Rakhine utara terhadap Rohingya yang mayoritas Muslim, yang pada saat itu, Amerika Serikat simpulkan sebagai pembersihan etnis," ujarnya.
Bulan lalu, Pengadilan Internasional yang berbasis di Belanda melanjutkan prosesnya dalam gugatan yang menuduh militer Myanmar melakukan pembersihan etnis dan genosida. Gambia, yang didukung oleh Organisasi Kerjasama Islam, mengajukan gugatan pada 2019.
Pada Desember 2019, pemimpin sipil Myanmar sebelumnya, peraih Nobel Aung San Suu Kyi, membela tindakan militer di negara bagian Rakhine sebagai tanggapan terhadap militan. Suu Kyi, yang merupakan pemimpin de facto Myanmar pada saat pembantaian 2017, ditangkap dalam kudeta Februari 2021. Dia tidak disebutkan namanya dalam dekrit.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Myanmar mengeluarkan pernyataan pada Selasa (22/3), bahwa Myanmar tidak pernah terlibat dalam tindakan genosida dan tidak memiliki niat genosida terhadap kelompok mana pun. Bagi Myanmar, genosida yang diumumkan AS bermotivasi politik dan sama saja dengan mencampuri urusan dalam negeri negara berdaulat.