Jumat 04 Mar 2022 20:14 WIB

Warga Korsel Protes Kehadiran Masjid Hingga Imigran, Ada Apa?

Banyak orang Korea menjelaskan sikap mereka terhadap orang asing.

Rep: Mabruroh/ Red: Agung Sasongko
Penumpang menunggu kedatangan kereta bawah tanah di sebuahbstasiunbdi Seoul, Korea Selatan.
Foto:

Garis patahan antara dua komunitas itu telah mengungkap kebenaran yang tidak nyaman di Korea Selatan. Pada saat negara itu menikmati pengaruh global yang lebih besar dari sebelumnya, dengan konsumen di seluruh dunia yang ingin menari mengikuti musik mereka, mengendarai mobil korea, dan membeli ponsel korea, negara itu juga bergulat dengan gelombang semangat anti-imigran dan Islamofobia yang ganas. Meski berhasil mengekspor budayanya ke luar negeri, namun lambat dalam menyambut budaya lain masuk ke dalam negeri.

Perselisihan masjid telah menjadi titik nyala, bagian dari fenomena yang lebih besar di mana warga Korea Selatan harus menghadapi apa artinya hidup dalam masyarakat yang semakin beragam. Kelompok Muslim sering menanggung beban rasa was-was rasis, terutama setelah Taliban mengeksekusi dua misionaris Korea Selatan pada 2007 silam.

Kedatangan 500 pencari suaka Yaman di pulau Jeju pada 2018 memicu rangkaian protes anti-imigran terorganisir pertama di Korea Selatan. Pemerintah menanggapi kekhawatiran bahwa para pencari suaka menyembunyikan teroris dengan melarang mereka meninggalkan pulau itu.

“Aturan mereka tentang jilbab saja sudah cukup menjadi alasan bahwa mereka tidak boleh menginjakkan kaki di negara kita,” kata pemimpin Refugee Out, sebuah jaringan anti-imigrasi nasional yang menentang masjid di Daegu, Lee Hyung-oh.

Banyak orang Korea menjelaskan sikap mereka terhadap orang asing dengan mengutip sejarah: negara kecil mereka telah bertahan dari invasi dan pendudukan selama berabad-abad, mempertahankan wilayah, bahasa, dan identitas etnisnya. Mereka yang menentang masjid dan imigrasi secara lebih luas sering memperingatkan bahwa masuknya orang asing akan mengancam “darah murni” dan “homogenitas etnis” Korea Selatan.

“Kami mungkin terlihat eksklusif, tetapi itu telah menjadikan kami apa adanya, mengkonsolidasikan kami sebagai bangsa untuk bertahan dari perang, pemerintahan kolonial dan krisis keuangan dan mencapai pembangunan ekonomi sambil berbicara dalam bahasa yang sama, memikirkan pemikiran yang sama,” kata Mr. Lee.

“Saya tidak berpikir kita bisa melakukan ini dengan keragaman,” tambahnya.

“Kami tidak xenofobia. Kami hanya tidak ingin bercampur dengan orang lain,” tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement