"Delegasi OKI telah mengunjungi kawasan itu dua kali untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hingga saat ini, PBB belum diizinkan mengunjungi Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di China," kata Habib, menyoroti pentingnya membangun dialog ini.
Habib juga menyoroti upaya OKI di Myanmar selama 20 tahun terakhir, dan langkah-langkah yang telah mereka ambil, bersama dengan PBB dan Uni Eropa untuk mengadvokasi perjuangan Muslim Rohingya. "Myanmar harus sepenuhnya mematuhi tindakan sementara yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional," kata Habib, merujuk pada kasus genosida yang ditujukan terhadap Myanmar oleh Gambia di pengadilan PBB.
Ketua Komite Hak Asasi Manusia dan Anggota Dewan Arakan Rohingya Union Reza Uddin mengatakan orang-orang Rohingya telah menderita selama hampir setengah abad. "Pembatasan agama, perkawinan, kepemilikan tanah, perampasan pendidikan dan kesehatan, pemerkosaan berkelompok dan perdagangan manusia, semua pelanggaran ini adalah cetak biru dari genosida," kata Uddin.
Reza mencontohkan Myanmar telah membunuh ratusan rakyatnya sendiri sejak militer menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis pada 1 Februari 2021. Hal ini antara lain karena kecenderungan pemerintah mematuhi putusan Mahkamah Internasional atas kasus Rohingya.
Seminar di Istanbul ini juga menyoroti soal Muslim Kashmir. Sekretaris Jenderal World Kashmir Awareness Forum Syed Ghulam Nabi Fai menggambarkan Kashmir sebagai penjara terindah di dunia. Kashmir dikenal sebagai surga di dunia yang terkenal karena keindahannya yang luar biasa, tetapi telah menjadi neraka bagi penduduknya sendiri.
"Hari ini Gregory H Stanton, pendiri dan presiden Genocide Watch, memperingatkan Kashmir berada di ambang genosida," kata Fai.