Ahad 13 Feb 2022 08:00 WIB

Biden dan Sikap Amerika Serikat Terhadap Umat Islam, Apakah Berubah?

Presiden Amerika Serikat Joe Biden dinilai masih setengah hati terhadai umat Islam

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
 Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Presiden Amerika Serikat Joe Biden dinilai masih setengah hati terhadai umat Islam
Foto: AP/Patrick Semansky
Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Presiden Amerika Serikat Joe Biden dinilai masih setengah hati terhadai umat Islam

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Ketika Presiden Biden secara resmi menjabat pada siang hari pada 20 Januari 2021, banyak Muslim Amerika Serikat menarik napas lega. 

Meski tidak ada yang mengharapkan Presiden Biden menyelesaikan segala masalah yang ada, namun banyak yang berharap retorika rasis, xenophobia, dan Islamofobia yang disebarkan secara terbuka oleh Presiden Trump akan berakhir. 

Baca Juga

Presiden Biden diketahui hampir menyelesaikan tahun pertamanya di kantor. Direktur Urusan Pemerintah Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), Robert McCaw, menuliskan sejumlah catatan terkait hal ini, sehubungan dengan janji kampanyenya di masa lalu. 

Saat berkampanye, Presiden Biden berjanji akan mengakhiri larangan perjalanan Muslim dan Afrika yang diskriminatif. Segera setelah menjabat, dia memenuhi janji itu dengan menandatangani proklamasi yang membatalkannya. 

Meski hal ini sudah diduga, namun apa yang dia lakukan sebagai langkah pertama merupakan hal yang penting dan terpuji. McCaw menyebut, Pemerintahan Biden dan Kongresnya masih harus mengambil tindakan untuk memperbaiki kerusakan dan dampak yang terjadi dari larangan tersebut, seperti pemenang lotre visa keragaman yang kehilangan kesempatan mereka untuk datang ke Amerika Serikat. 

Dilansir di 5 Pillars UK, Sabtu (12/2/2022), pada tahun pertamanya menjabat Presiden Biden menunjuk beberapa Muslim Amerika ke posisi pemerintahan tingkat tinggi. Beberapa yaitu Lina Khan sebagai Ketua Komisi Perdagangan Federal, Sameera Fazili sebagai Wakil Direktur Dewan Ekonomi Nasional, Reema Dodin sebagai Deputi Urusan Legislatif Kantor Gedung Putih Direktur, serta Rashad Hussain sebagai Duta Besar untuk Kebebasan Beragama Internasional. 

"Meski Presiden tidak memenuhi janjinya untuk memasukkan Muslim di setiap tingkat pemerintahannya, dimana tidak ada satu pun anggota kabinet Muslim, penunjukkan yang lain patut dicatat dan disambut baik. Termasuk penunjukan Rashad Hussain, mengingat jumlah komunitas Muslim yang menghadapi penganiayaan Islamofobia di Cina, Prancis, India, Myanmar, dan banyak tempat lain di seluruh dunia," kata dia. 

Seperti pemerintahan Trump, pemerintahan Biden menyatakan pelanggaran hak asasi manusia China yang menargetkan Muslim Uyghur sebagai genosida. Namun tidak seperti Presiden Trump, yang dilaporkan menyatakan dukungan pribadi untuk kebijakan anti-Uyghur presiden China, Presiden Biden secara konsisten berbicara menentang genosida. 

Biden menandatangani undang-undang Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur yang telah lama tertunda. UU ini mencegah perusahaan-perusahaan Amerika mengimpor barang-barang yang dibuat dengan kerja paksa di wilayah Uyghur China. 

Baca juga: Kisah Puji dan Agus, Suami Istri yang Bersama-sama Masuk Islam

Ke depannya, Presiden Biden disebut harus meningkatkan tekanan pada China untuk mengakhiri genosida. Dia juga harus menolak suara-suara yang ingin mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia China dengan imbalan kemajuan dalam isu-isu seperti perubahan iklim.

"China bukan satu-satunya hotspot penganiayaan dan penindasan anti-Muslim. Dari Prancis hingga Myanmar, komunitas Muslim terancam oleh meningkatnya sentimen anti-Muslim," lanjut McCaw. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement