REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin, menjelaskan konsep moderasi beragama berbeda dengan moderasi agama. Ia menegaskan, agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah mengajarkan prinsip moderasi, keadilan, dan keseimbangan.
“Dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat multikultural, dibutuhkan paham keagamaan yang moderat. Sementara prinsip moderasi beragama adalah sikap atau cara pandang perilaku beragama yang moderat, toleran, menghargai perbedaan, dan selalu mengejawantahkan kemaslahatan bersama,” ujar Kamaruddin di Jakarta, Rabu (9/2/2022).
Menurutnya, pengejawantahan kemaslahatan bersama yaitu menghadirkan manfaat dan mencegah mudarat. “Kita harus menghargai esensi atau substansi ajaran agama itu sendiri, di antaranya menghargai kemanusiaan. Misalnya kita berbeda agama, suku, bahasa, dan budaya, tapi kita sesama manusia harus saling menghormati, apalagi Islam mengajarkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Dikatakannya, agama harus mampu diterjemahkan dalam kehidupan bersama, baik sesama maupun berbeda agama. Ia menambahkan, moderasi beragama adalah cara beragama yang direfleksikan oleh semua pihak, bukan hanya umat Islam saja, tapi juga umat beragama lain.
“Sebagai warga bangsa Indonesia, kita harus mampu menerjemahkan agama sebagai basis yang merefleksikan kesejukan, perdamaian, dan menghindari konflik, itulah yang dimaksud dengan moderasi beragama,” ujar Guru besar ilmu hadits UIN Alauddin Makassar itu.
Moderasi Beragama dan Urgensinya
Penyandang gelar Ph.D dari Bonn University, Jerman itu menjelaskan, dalam konteks kehidupan beragama seperti di Indonesia, penguatan moderasi beragama sangat penting dilakukan.
Bahkan, imbuhnya, moderasi beragama juga perlu digaungkan dalam konteks global di mana agama menjadi bagian penting dalam perwujudan peradaban dunia yang bermartabat.
“Indonesia merupakan megadiversity country, yaitu negara yang memiliki tingkat keragaman yang sangat luar biasa. Sehingga kita termasuk negara yang paling membutuhkan instrumen untuk dapat mengelola keberagaman itu. Instrumen yang paling power full di antaranya adalah moderasi beragama,” tegas alumni Pondok pesantren As-Sadiyah Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan itu.
Dijelaskannya, ciri khas moderasi beragama dalam merawat keberagaman adalah menghargai semua perbedaan, serta sikap adil dan saling menghormati satu sama lain.
“Moderasi beragama bisa menjadi wasilah untuk menjaga dan memperkuat kerukunan bangsa Indonesia,” tegas Dirjen.
Moderasi Beragama Bukan Pendangkalan Akidah
Kamaruddin menerangkan, terdapat empat indikator moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Ia menekankan, salah satu dari empat indikator tersebut adalah toleransi yang harus diterjemahkan dengan jelas.
“Toleran dalam arti menghargai perbedaan tanpa mencampuradukkan akidah. Misalnya, saya umat Islam, saya meyakini agama saya yang paling benar, itu akidah. Kemudian saudara saya yang beragama non-Muslim, tentu mereka juga punya keyakinan yang sama tentang agamanya,” jelasnya.
Dalam menyikapi perbedaan itu, umat beragama diharuskan untuk saling menghargai. “Saling menghargai dalam arti, mari kita hidup bersama dengan keyakinan kita masing-masing sebagai warga negara Indonesia, kita punya kewajiban yang sama, tapi tidak mencampuradukkan akidah masing-masing,” ungkapnya.
“Jadi sekali lagi saya tegaskan bahwa moderasi beragama jangan sampai dimaknai pendangkalan akidah, saya meyakini agama saya, yakini agama Anda, dan mari kita saling menghormati,” pungkasnya.