Jumat 14 Jan 2022 14:39 WIB

Islam di Sri Lanka, Minoritas yang Dihantui Diskriminasi dan Pelecehan

Umat Islam di Sri Lanka hadapi perlakuan diskriminasi dan kekerasan

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Ribuan umat Islam Sri Lanka (ilustrasi) Umat Islam di Sri Lanka hadapi perlakuan diskriminasi dan kekerasan

Pengeboman Minggu Paskah adalah momen yang menjadi titik balik. Beberapa pekan setelah serangan, properti Muslim dan masjid dirusak massa Sinhala dan ujaran kebencian mengganas di media sosial. Komunitas Muslim dibenci dan ada seruan dari kelompok garis keras Sinhala untuk memboikot toko-toko Muslim.

Presiden saat ini, Gotabaya Rajapaksa, yang menjabat sebagai menteri pertahanan saat memimpin upaya perang melawan pemberontak Tamil, berkuasa pada November 2019 dengan dukungan kuat dari nasionalis Buddha Sinhala. Dia berkampanye dengan platform keamanan nasional. 

Kakak laki-lakinya, Mahinda Rajapaksa, memenangkan pemilihan parlemen setahun kemudian. Rajapaksa seolah dengan tegas mempererat cengkeraman mereka pada kekuasaan. 

"Bagi pemerintah, ini adalah kartu as yang terus mereka gunakan untuk mempertahankan basis suara, mengatakan bahwa ada ancaman bagi negara dari ekstremis Islam," kata Dewan Muslim Sri Lanka, Hilmy Ahamed. 

Selama pandemi, pemerintah awalnya tidak mengizinkan jenazah korban Covid-19 dari komunitas minoritas Muslim dan Kristen dimakamkan. Beberapa mayat dikremasi secara paksa, meskipun para ahli mengatakan mayat dapat dikubur dengan langkah-langkah keamanan yang tepat. 

Kremasi jenazah dilarang dalam Islam. Pejabat saat itu berpendapat penguburan bisa mencemari air tanah. Setelah kegemparan dari kelompok minoritas dan hak asasi manusia, pemerintah tahun lalu akhirnya mengalokasikan ruang yang ditentukan di Sri Lanka timur untuk memakamkan para korban Covid-19. 

Tahun lalu, Pemerintah juga mengusulkan proposal melarang pemakaian burqa dan semua bentuk penutup wajah lainnya, dengan alasan masalah keamanan nasional. Seorang menteri mengatakan pakaian itu adalah tanda ekstremisme agama yang muncul baru-baru ini. 

Tak hanya itu, ada rencana yang diumumkan untuk menutup lebih dari 1.000 sekolah agama Islam, yang menurut pemerintah melanggar kebijakan pendidikan nasional. 

"Pada periode pasca perang, Muslim telah menjadi musuh baru. Kami telah melihat beberapa insiden di mana komunitas Muslim diserang. Saya bisa mengatakan komunitas itu dikepung," kata seorang pengacara hak asasi manusia, Bhavani Fonseka. 

Namun pemerintah menolak tuduhan yang mengatakan mereka memperlakukan komunitas Muslim secara tidak adil. Direktur Jenderal Departemen Informasi Pemerintah Sri Lanka, Mohan Samaranayake, mengatakan tidak ada kebijakan diskriminasi sistematis yang dilembagakan terhadap komunitas mana pun. 

"Tetapi saya mengakui fakta bahwa mungkin ada masalah yang dihadapi oleh semua komunitas, termasuk orang Sinhala," ujarnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement