REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Fuad Nasar, Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kemenag
Kearifan lokal, sebuah istilah yang tidak asing lagi dan sering menjadi perbincangan di ruang publik. Kearifan lokal dipandang sebagai modal sosial dalam mengurai dan mengatasi beragam persoalan yang tidak selamanya bisa ditangani menggunakan pendekatan formal. Kearifan lokal pada masyarakat yang homogen di pedesaan penting untuk dipelihara, namun kearifan dalam konteks masyarakat urban perkotaan juga diperlukan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70 persen dari total populasi di Tanah Air. Bisa dibayangkan, bagaimana intensitas dan kompleksitas masalah perkotaan terutama tata ruang bagi kehidupan dan aktivitas warga kota masa depan secara manusiawi.
Oleh karena itu amat relevan membicarakan kearifan perkotaan dalam keterkaitannya dengan properti di perkotaan. Kearifan lokal dan kearifan perkotaan dua-duanya harus simultan dan saling melengkapi. Kearifan perkotaan tidak hanya menyangkut relasi dan interaksi antarmanusia dan antarkomunal dalam pola dan suasana kota, namun lebih jauh menyangkut cara pandang manusia kota terhadap properti di sekitarnya.
Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 13 Maret 2021, saya mengikuti diskusi dan bedah buku yang digelar komunitas Aksi Literasi. Buku yang dibedah berjudul Kota Tanpa Perencana karya Juniar Ilham dkk (2020) dan Kota Untuk Semua karya Wicaksono Sarosa (2020). Sebagai peserta diskusi, saya diundang oleh moderator Swary Utami Dewi untuk menyampaikan tanggapan dan memberi pendapat.
Di forum yang dihadiri para pakar dan praktisi itu, saya utarakan perlunya para perencana (planner) perkotaan dan otoritas berwenang dalam perencanaan tata ruang wilayah perkotaan mengakomodir keberadaan dan kegunaan properti atau aset-aset sosial dalam hal ini tanah wakaf yang terdapat di perkotaan.
Selama ini, ungkap saya, kerap terjadi tukar guling (ruislag) tanah wakaf karena pembebasan lahan untuk kepentingan bisnis, real estate dan properti di perkotaan. Seolah tak ada opsi lain, kecuali tukar guling. Saya lontarkan saran dan masukan, perlu dikembangkan skema alternatif.
Skema alternatif yang saya maksud ialah kerja sama pemanfaatan tanah wakaf secara produktif tanpa menggusur atau tukar guling ke tempat lain. Hal itu penting dan mendesak dipikirkan bersama, selain tanah wakaf, juga perlindungan tanah ulayat sebagai hak milik komunitas adat.
Sejauh yang saya amati, salah satu kendala dan persoalan dalam perluasan wilayah kota dan proyek pembangunan di suatu daerah yang membutuhkan pengadaan lahan. Misalnya di Sumatera Barat, berkaitan dengan persoalan pelepasan tanah ulayat atau tanah adat sebagai pusako tinggi milik kaum di setiap nagari (desa). Perencanaan tata ruang perkotaan sepatutnya mengakomodir “kebhinekaan” dalam masyarakat dari sisi agama dan adat istiadat serta selalu memperhatikan aspek sosio kultural yang ada.
Pegiat Literasi dan pendiri CIRUS (Center for Indonesia Regional and Urban Studies), Dr. Andrinof Chaniago yang juga mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dalam closing statement acara bedah buku tersebut merespon positif pendapat yang saya utarakan. Andrinof mengambil contoh tanah wakaf masjid. Tidak harus digusur, tapi bisa dibangun sekian lantai untuk bisnis dan masjidnya akan menjadi lebih bagus.
Dalam diskusi bedah buku tersebut tampil sebagai pembahas ialah Raphaella Dwianto Dewantari, MA PhD (Dosen Sosiologi Perkotaan, Universitas Indonesia) dan Dr Tri Mulyani Sunarharum, ST (Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Gadjah Mada).
Sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang harus menjadi karakter bernegara dalam diri manusia Indonesia sebagai pelaku pembangunan, menurut hemat saya, konsep “membangun tanpa menggusur” dan “mengembangkan tanpa menghilangkan”, sepatutnya menjadi filosofi perencanaan kota di negara kita. Sejumlah negara maju justru menganut konsep harmoni semacam itu.
Perencanaan wilayah perkotaan dan penguasan lahan di kota-kota besar seyogyanya mengakomodir dan memperhatikan semua aspek kepentingan yang menyangga kehidupan warga kota. Salah satu kepentingan dimaksud ialah kepentingan pengelolaan aset-aset wakaf sebagai properti yang memiliki kekhususan dan menjadi bagian penting dari kearifan perkotaan.
Properti wakaf, properti adat, properti negara, properti BUMN, dan properti swasta, pada dasarnya memiliki hak dan perlindungan yang setara di mata hukum dan perundang-undangan. Untuk itu kearifan perkotaan dengan dukungan regulasi dan kebijakan sangat diperlukan dalam rangka melindungi dan memberdayakan aset-aset wakaf bagi kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kemakmuran bangsa, sebagaimana amanat konstitusi negara kita.
Wallahu a’lam bisshawab.