REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam konteks Indonesia, tokoh Muslim pertama yang dapat dianggap menyuarakan istilah sekularisasi dan sekularisme di dunia akademis adalah Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa sekularisasi dan sekularisme bukan merupakan paham statis, tetapi suatu proses yang terus berlangsung.
Dosen Filsafat Agama Universitas Indonesia (UI), Dr Naupal, menjelaskan sekularisasi adalah menduniawiakan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Artinya, Islam hadir mengemukakan masalah duniawi secara rasional, sebagaimana yang disabdakan Nabi, “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”.
Dalam konsep Nurcholish Madjid, sekularisme bukan pemisahan antara urusan dunia (negara) dengan urusan akhirat (agama), tetapi pembedaan antara keduanya, sehingga sekularisme harus dipahami sebagai devaluasi sektor kehidupan dan demitologisasi.
“Sekularisasi merupakan suatu proses bertahap menuju sekularisme. Sekularisasi dalam pikiran Majid adalah desakralisasi urusan duniawi yang merupakan proses pembebasan manusia dari unsur-unsur pemitosan agama terhadap urusan duniawi (demitologisasi),” kata Naupal.
Dengan demikian, sekularisme memuat banyak pengertian di antara pengertian yang paling ideal dalam konteks ke-Indonesiaan sekaligus ke-Islaman adalah desakralisasi dan demitologisasi, jadi bukan pemisahan urusan agama dengan urusan negara, bukan menolak nilai-nilai moral yang berasal dari agama.
Naupal menjelaskan, agama hakikatnya mengatur urusan dunia, yaitu mengatur orang yang masih hidup bukan yang sudah mati, agama juga menyuruh umatnya mengembangkan ilmu pengetahuan, lewat mengedepankan rasio dan pengamatan inderawi sebagaimana perintah Alquran dan sunnah Nabi.
Dalam politik, menurut Naupal, agama membekali umatnya dengan pesan-pesan nilai universal, seperti keadilan, kesejahteraan, musyawarah.
“Jadi pemahaman sekularisme yang ideal adalah urusan duniawi dapat dibedakan dengan urusan ukhrawi. Keduanya dapat dibedakan, tapi tidak dapat dipisahkan, seperti tubuh dengan jiwa, tubuh berbeda dengan jiwa, tapi tubuh tidak bisa dipisahkan dengan jiwa,” jelasnya.
Karena, lanjutnya, jika paham sekularisme mau diterima dalam konteks dunia Islam ia harus tidak sama dengan pemahaman awal ketika sekularisme itu muncul di dunia Barat.
Maka, menurut Naupal, Nurcholis Madjid lebih suka menggunakan istilah desakralisasi dan demitologisasi, bukan sekularisasi dan sekularisme.
“Karena dalam agama Islam tidak ada pemisahan agama dengan dunia seperti yang ada di dunia Barat, yang ada adalah pembedaan antara urusan agama dengan urusan dunia atua negara,” ucap Naupal.