REPUBLIKA.CO.ID,lPARIS -- Dua menteri Prancis mengecam Komisi Eropa setelah Komisaris Kesetaraan Helena Dalli bertemu dengan Forum Organisasi Pemuda dan Mahasiswa Muslim Eropa (FEMYSO).
Menteri Muda Kewarganegaraan Prancis, Marlene Schiappa, dalam akun Twitter miliknya menulis jaringan mahasiswa Muslim merupakan bagian dari "asosiasi Islam."
FEMYSO sendiri merupakan jaringan 33 organisasi pemuda dan mahasiswa Muslim di 20 negara Eropa. Di masa lalu, organisasi ini mengkritik kebijakan Islamofobia negara Prancis yang menargetkan populasi Muslim di negara itu.
Pemerintah Prancis sering menyebut para pengkritiknya sebagai ekstremis, Islamis atau Islamo-kiri, terlebih jika mereka mempertanyakan kebijakan negara yang berusaha mengatur bagaimana Muslim Prancis mempraktikkan Islam.
Dilansir di TRT World, Kamis (25/11), menurut Komisaris Uni Eropa untuk Kesetaraan, pertemuan dengan FEMYSO bertujuan untuk membahas situasi pemuda Muslim di Eropa dan tantangan yang dialami sebagai akibat dari stereotip, diskriminasi dan kebencian langsung.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Prancis untuk Eropa, Clement Beaune, menyebut pertemuan UE dengan FEMYSO tidak masuk akal. Ia juga bersumpah Pemerintah Prancis akan mendekati komisi tersebut untuk memastikan hubungan dengan gerakan mahasiswa akar rumput terputus.
Menanggapi serangan pemerintah Prancis, FEMYSO mengatakan sangat kecewa melihat pejabat pemerintah Prancis menghabiskan modal dan platform politik untuk menyerang dan mendelegitimasi organisasi pemuda dan mahasiswa pan-Eropa, yang dipimpin sepenuhnya oleh sukarelawan.
Di sisi lain, mereka tidak mencoba untuk meloloskan kebijakan yang efektif, utamanya untuk mendukung komunitas lokal dalam pemulihan dari pandemi yang menghancurkan ini.
Awal bulan ini, Dewan Eropa, sebuah badan hak asasi manusia pan-Eropa yang terpisah dari UE, menarik diri dari kampanye yang berusaha menarik perhatian pada diskriminasi anti-hijab, setelah Prancis menyebut aksi ini sebagai tindakan yang "sangat mengejutkan."
Sekretaris Negara Prancis untuk Pemuda, Sarah El Hairy, menyebut kampanye jilbab ini sebagai kebalikan dari nilai-nilai yang diperjuangkan Prancis. "Prancis menyatakan ketidaksetujuannya yang sangat kuat terhadap kampanye tersebut, itulah sebabnya kampanye itu ditarik," kata dua.
FEMYSO, yang bekerja sama dengan Dewan Eropa dalam kampanye itu, menyerang sikap "munafik" Prancis. Mereka menyebut standar ganda pemerintah dalam hal topik hak asasi manusia, dengan mempromosikan kebebasan hanya untuk beberapa pihak dan terutama bukan komunitas Muslim.
"Serangan terbaru Prancis terhadap FEMYSO seharusnya tidak dilihat dalam ruang hampa", kata Presiden organisasi, Hande Taner.
Dengan pemilihan mendatang di Prancis, pihaknya disebut melihat serangan ini sebagai metode untuk melegitimasi kredensial sayap kanan dari individu-individu, untuk menenangkan ideolog sayap kanan rasis yang berniat memecah belah masyarakat.
"Penargetan FEMYSO tidak kurang dari kontribusi aktif terhadap menyusutnya ruang sipil serta serangan terhadap pembela hak asasi manusia," lanjutnya.
Awal tahun ini, Menteri Dalam Negeri sayap kanan Prancis, Gerald Darmanin, mengumumkan di Twitter menentang penerbit Muslim. Mereka disebut diduga menjual buku-buku yang mempromosikan sejarah Islam tentang tokoh-tokoh kunci Muslim yang berjuang atas nama agama.
Pada Desember 2020, ia juga membubarkan Collective Against Islamophobia in France (CCIF), dengan alasan pekerjaannya memerangi Islamofobia yang meluas di negara itu, merupakan ancaman bagi negara.
Awal tahun ini, pemerintah Macron menekan komunitas Muslim untuk mengadopsi apa yang disebut "Piagam Imam". Dalam Pasal 9, piagam tersebut menyatakan, "Penolakan atas dugaan rasisme Negara" akan dianggap sebagai tindakan "fitnah".
Dokumen tersebut mengatakan berbicara tentang rasisme negara berarti memperburuk kebencian anti-Muslim dan kebencian anti-Prancis. Dokumen tersebut juga berusaha untuk melarang masjid terlibat dalam pidato politik tentang konflik asing.
Diskusi tentang ketidakadilan politik di seluruh dunia, krisis kemanusiaan di Palestina atau Mali, tempat-tempat di mana Prancis menemukan dirinya dalam posisi yang kurang menyanjung, dapat dianggap sebagai bentuk ekstremisme, atau lebih buruk lagi, separatisme.
Selain itu, pidato di masjid yang bermusuhan dengan kebijakan luar negeri Prancis juga akan dilarang.
Sumber: