REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Di tengah upaya mendorong sertifikasi halal, muncul tantangan lain yang justru datang dari perilaku konsumen Muslim sendiri. Banyak anak muda Muslim, terutama di Malaysia dan Indonesia, lebih percaya pada tampilan luar seperti nama Arab, pelayan berjilbab, atau lokasi restoran di kawasan Muslim sebagai penanda kehalalan. Fenomena ini dikenal sebagai tacit halal cues.
“Kita menciptakan kondisi di mana heuristik informal lebih dipercaya ketimbang jaminan resmi,” kata Dosen Pemasaran Universiti Malaya, Dr Ezlika Ghazali, dikutip dari The Edge Malaysia, Rabu (16/7/2025).
Ia menjelaskan, simbol-simbol sosial ini telah menjadi pengganti persepsi halal bagi sebagian besar konsumen muda.
Studi yang dilakukan Ezlika dan timnya pada 2022 menunjukkan bahwa tekanan sosial dan kewajiban agama memang mendorong keputusan konsumsi. Namun, tekanan tersebut tidak selalu membuat konsumen memilih tempat makan atau produk yang bersertifikat halal. Jika tempat usaha terlihat cukup “Muslim”, maka label halal tak lagi dianggap penting.
Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya motivasi pelaku usaha untuk mengajukan sertifikasi resmi. Jika konsumen tidak mempermasalahkan sertifikat, maka pelaku usaha juga enggan mengeluarkan biaya dan waktu untuk proses yang dianggap rumit dan panjang.
Fenomena ini dinilai mengkhawatirkan karena justru bisa meruntuhkan ekosistem halal yang selama ini dibangun atas dasar kepercayaan terhadap sistem sertifikasi. “Jika sertifikasi tidak lagi dihargai, maka nilainya akan terus melemah di pasar,” kata Profesor Pemasaran dari Monash University Malaysia, Dr Dilip Mutum.
