REPUBLIKA.CO.ID, Al Habib Salim bin Djindan adalah salah satu simpul dakwah yang sangat penting dalam sejarah masyarakat Betawi. Ia, bersama dengan Habib Ali Alhabsyi (Kwitang) dan Habib Ali bin Husin Alatas, dikenal sebagai tiga serangkai (triumvirat) dalam berdakwah.
Menurut sejarawan Alwi Shahab (1936-2020), publik mengingat ciri khas Habib Ali, yakni cenderung kalem. Adapun Habib Ali Kwitang kerap mengingatkan kaum Muslimin tentang cinta Ilahi.
Sementara, Habib Salim bin Djindan dengan suara yang menggebu-gebu kadang mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan ajaran Islam.
Di tengah kaum Muslimin, Habib Salim merupakan pribadi yang bersahaja, lemah lembut, serta tawaduk. Sebaliknya, sikap yang tegas dan bahkan cenderung keras ditunjukkannya kepada setiap kezaliman.
Baginya, amar makruf nahi munkar adalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar. Pada zaman Orde Lama, satu contoh ketegasannya terjadi tatkala Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya. Partai berlogo palu-arit ini sedang dekat dengan penguasa. Para kader dan simpatisannya terus menyerang dengan sentimen anti-Islam.
Habib Salim senantiasa berada di garda depan untuk melawan propaganda komunis. Padahal, waktu itu PKI sedang kuat-kuatnya. Berbagai ancaman tidak dipedulikannya. Sebab, yang terpenting ialah marwah agama Islam. Tak letihletihnya sang habib mengingatkan umat Islam akan bahaya besar bila komunis berkuasa di Tanah Air.
Habib Salim terkenal sebagai ulama yang tegas dan keras, terutama terhadap hal-hal kemaksiatan. Ia juga sering kali mengingatkan umat akan kerusakan moral.
Kepada kaum wanita, Habib mengingatkan mereka agar memerhatikan cara berpakaian dan menutup aurat. ''Jagalah wanita-wanita kalian. Peringatkan anak-anak dan istrimu agar menjaga aurat mereka. Karena, penyakit tabarruj (memamerkan aurat) bisa menyebar ke rumah-rumah kalian,'' kata Habib Salim.
Dalam buku 12 Habaib Berpengaruh, Habib Salim berkata kepada keluarganya, ''Aku mengharapkan datangnya kematian. Karena, aku meng inginkan perjumpaan dengan orang-orang yang aku cintai. Mereka adalah para ulama dan salihin dan aku mengharapkan berkumpul bersama ajdad (para leluhurku) dan bersama datukku, Muhammad Rasulullah.''
Pada 16 Rabiul Awwal 1389 H bertepatan 1 Juni 1969 M, singa podium itu wafat. Ribuan umat Islam dari berbagai pelosok Jabodetabek bertakziah ke kediamannya di Otista (Jalan Otto Iskandardinata). Umat Islam pun merasa kehilangan dengan kepergian sang ulama.
Estafet dakwah diteruskan kedua putra almarhum, yakni Habib Shahahuddin dan Habib Novel. Yang terakhir itu membuka sebuah majelis tak lim di Larangan, Tangerang, Banten. Sepening galannya, kini forum ilmu agama tersebut dilanjutkan oleh kedua putranya, Habib Jindan bin Novel dan Habib Muhammad.