REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ayah presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914 dan wafat pada 19 April 1953.
Dalam perjalanan bangsa ini, Kiai Wahid Hasyim tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia telah berkontribusi banyak pada negeri ini, sehingga pemerintah menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1960.
Lalu apa peran Kiai Wahid Hasyim dalam perumusan Pancasila?
KH Abdul Wahid Hasyim memiliki peran penting dalam merumuskan Pancasila, khususnya dalam aspek keterlibatan umat Islam dalam pembentukan dasar negara Indonesia. Dalam forum-forum BPUPKI dan PPKI, beliau terlibat aktif dalam diskusi mengenai dasar negara dan hubungan antara agama dan negara.
Dalam merumuskan Pancasila, KH Wahid Hasyim bersikap moderat dan menjaga agar negara Indonesia menjadi negara yang inklusif bagi semua golongan, termasuk non-Muslim. Dalam proses diskusi di PPKI, ia termasuk tokoh yang dapat menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi menjaga persatuan bangsa dan menghormati keberagaman.
Saat itu, KH Wahid Hasyim berperan sebagai penghubung antara kalangan ulama dan tokoh-tokoh nasionalis sekuler. Ia memainkan peran penting dalam mendamaikan berbagai pandangan yang berbeda terkait dasar negara, sehingga menghasilkan Pancasila yang menjadi konsensus bersama.
Melalui peran-perannya, KH Wahid Hasyim turut memastikan bahwa Pancasila, terutama sila pertama, tetap mencerminkan nilai-nilai ketuhanan tanpa mengesampingkan semangat kebangsaan dan pluralisme.
Sejarah mencatat, ada sembilan tokoh yang merumuskan dasar negara, yaitu Soekarno, Moch Hatta, AA Maramis, KH A Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh Yamin. Tim 9 ini awalnya merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yang berbunyi:
“Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.
Namun, saat itu muncul juga aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya.
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya mereka menetapkan bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di sinilah peran besar Kiai Wahid Hasyim tampak, yang mana beliau mampu merumuskan Pancasila yang akomodatif.
Kiai Wahid Hasyim mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis. Menurut Kiai Wahid Hasyim, poin “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Karena itu, tak ada alasan ataupun celah bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain.
Dalam buku NU dan Pancasila (2010), Einar Martahan Sitompul menerangkam, Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan.