Era Pandemi Covid-19 dan Pernikahan Online
Namun di era disrupsi dan akibat pandemi Covid-19 yang mengakibatkan keterbatasan pertemuan fisik secara langsung, banyak hal mengalami perubahan secara besar-besaran. Tidak hanya pada sektor ekonomi, pendidikan dan kebiasaan masyarakat, tetapi juga terjadi pada sektor ibadah dan muamalah seperti pada proses pernikahan secara online.
Pernikahan secara online tidak hanya dipandang tidak lazim oleh masyarakat Muslim, tetapi juga dalam prosesnya dapat terjadi beberapa permasalahan hukum yang harus diputuskan kepastiannya.
Dalam hal keabsahan nikah, aturan saksi yang harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan dan aturan ijab qabul antara wali dengan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan tidak berselang waktu.
Beberapa hal di atas tersebut dinilai sebagai suatu masalah yang perlu diangkat, didiskusikan dalam ijtima tiga tahunan MUI. Dalam konteks sekarang, online bukan sekedar telepon, namun dapat berkomunikasi langsung dalam waktu yang sama meski berada di tempat yang jauh yang disertai penglihatan fisik pihak lawan bicara. Tingkat akurasinya bisa dikonfirmasi melalui standar ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.
Dari deskripsi masalah di atas, muncul pertanyaan tentang hukum akad nikah dengan menggunakan cyber teknologi (komunikasi secara online).
Ketentuan Hukum
Maka dibuat ketentuan hukum pernikahan online ini. Pertama, salah satu syarat sah ijab kabul dalam pernikahan adalah dilakukan secara ittihadu al majlis (berada dalam satu majelis), dengan lafadz yang sharih (jelas), ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung).
Kedua, dalam hal calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, maka ijab kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara tawkil (mewakilkan).
Ketiga, pelaksanaan akad nikah secara online, di mana wali dan calon pengantin pria tidak berada dalam satu majelis secara fisik, namun terhubung secara virtual hukumnya sah dengan syarat. Syarat pertama, wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar (audio visual). Syarat kedua, dalam waktu yang sama (real time). Syarat ketiga, adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.
Keempat, pernikahan online yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud tersebut, hukumnya tidak sah. Kelima, walaupun sah, pernikahan online tidak dianjurkan.
Saat ini materi hukum pernikahan online ini masih sedang dibahas di sidang komisi dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII.