Amnesty juga melaporkan permusuhan yang meningkat ini dimulai dengan kampanye antihalal. Ketika kelompok nasionalis Buddha Sinhala berhasil melobi untuk mengakhiri sertifikasi halal makanan.
Kemudian kampanye tersebut memunculkan sejumlah serangan terhadap masjid dan bisnis Muslim dengan kurangnya akuntabilitas bagi mereka yang bertanggungjawab bertindak sebagai sinyal untuk lainnya bahwa tindakan kekerasan terhadap Muslim dapat dilakukan dengan impunitas.
Pada 2015, pemerintah baru menjanjikan keadilan dan akuntabilitas bagi etnis dan agama minoritas. Namun, tak lama setelah pemilu, kekerasan anti-Muslim berkobar dan terus berlanjut.
Laporan tersebut juga menjelaskan bagaimana selama insiden di kota pesisir selatan Ginthota pada 2017 dan serangkaian terhadap Muslim di Digana dan Ampara saat 2018 lalu. Para pelaku lolos dari pertanggungjawaban dan polisi serta angkatan bersenjata tidak melakukan hal yang cukup untuk mencegah kekerasan. Kemudian lonjakan kekerasan terhadap Muslim terlihat setelah pengeboman Paskah pada 2019.
"Setelah serangan ini, yaitu pada 13 Mei 2019, Muslim di beberapa kota di Provinsi Barat Laut Sri Lanka diserang selama Ramadhan yang menjadi satu bulan paling suci dalam kalender Islam. Masjid-masjid di seluruh negeri juga diserang dan serentetan ujaran kebencian dan kata-kata kasar anti-Muslim terlihat di media sosial," ujar laporan Amnesty.