REPUBLIKA.CO.ID,REPUBLIKA.CO.ID,MANHATTAN -- Imam Masjid New York Shamsi Ali menulis tentang memaknai Toleransi. Toleransi atau dalam bahasa arab As-Samhah sejatinya menjadi karakter dasar dari ummatan wasathan.
Di mana umat Islam seperti dalam surat Al Baqarah ayat 143,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
"Ada kekeliruan dalam memahami makna toleransi, khususnya toleransi antar umat beragama. Seolah toleransi itu dimaknai sebagai penyamaan atau memandang semua hal, termasuk semua agama sama. Pandangan seperti ini biasa dipahami sebagai paham pluralisme, namun sesungguhnya juga tidak sesuai bahkan paradoks,"ujar dia yang diterima Republika, Selasa (2/10).
Pertama, toleransi itu hadir sebagai konsekuensi adanya keragaman atau perbedaan. Jika perbedaan sudah tidak ada maka dengan sendirinya toleransi tidak lagi diperlukan. Maka memahami toleransi dengan penyamaan itu sebuah pemahaman paradoks.
Kedua, pluralisme adalah paham yang seharusnya mengakui adanya pluralitas keragaman. Dan karenanya memahami pluralisme dengan penyamaan juga sebuah pemahaman yang paradoks.
Dengan demikian toleransi dan pluralisme tidak dipahami sebagai penyamaan semua agama-agama. Sebaliknya baik toleransi maupun paham pluralisme dipahami sebagai pengakuan adanya keragaman. Dan karena keragaman itulah kedua hal itu, sikap toleran dan paham pluralistik eksis dan diperlukan.
"Toleransi dipahami sebagai sebuah sikap bahkan prilaku yang tidak saja menyadari eksistensi perbedaan yang ada di dalam kehidupan manusia, termasuk perbedaan dalam beragama dan keyakinan. Tapi justru memberi ruang kepada perbedaan itu untuk memiliki ruang hak yang sama,"jelas dia.
Kata menyadari adanya perbedaan ini menjadi esensial karena secara prinsip Islam memang mengajarkan demikian. “Kalau sekiranya Allah berkehendak maka Dia jadikan kalian semua jadi satu umat (termasuk satu agama)”.
Dan karenanya keyakinan tentang keragaman ini dalam pandangan Islam bukan sekedar nilai sosial. Tapi sebuah nilai agama (iman) yang meyakini kehendak (Takdir) Allah SWT.
Selanjutnya memberi ruang yang sama juga menjadi bagian esensial dari ajaran agama. Bahwa adanya perbedaan mendasar dalam keyakinan dan praktek beragama masing-masing pemeluk agama tidak menjadikan Islam menutup mata kepada eksistensi dan hak dari pemeluk agama lain.
Karena itu Surah Al-Kafirun dalam Al-Quran menyimpulkan makna toleransi sesungguhnya. Kesimpulan itu minimal ada pada tiga poin penting,
Satu, bahwa keyakinan dan penyembahan itu bersifat pilihan hati masing-masing orang. Dan karenanya tidak benar dan tidak bisa dibenarkan untuk menyamakan keyakinan dan penyembahan.
Dua, sedemikian tegasnya Alquran dalam hal akidah dan penyembahan sehingga diulang-ulang dalam bentuk atau tatanan kalimat yang berbeda. “Laa a’budi maa ta’buduun” menjadi “wa laa antum ‘aabiduuna maa a’budu”. Lalu diulang lagi “wa laa ana aabidun maa abadtum”. Dan akhirnya diulang bentuk kedua tadi sebagai penegasan dan peringatan.
Tiga, walau sedemikian tegasnya akidah dan konsep ubudiyah dalam Islam, namun pada saat yang sama mengakui eksistensi agama. Bahkan lebih dari itu memberikan ruang yang sama dalam keyakinan dan peribadatan. Kalimat “Wa laa antum ‘aabiduuna” itu sebuah ekspresi tegas tentang kebebasan beribadah dalam Islam. Sementara “lakum diinukum” itu sebuah Konsep tegas dalam kebebasan memilih agama.
Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa toleransi itu adalah menerima eksistensi agama-agama lain, bahkan memberikan ruang yang sama dengan ruang yang kita inginkan untuk kita sendiri. Tapi toleransi tidak akan pernah dipahami sebagai pembenaran (membenarkan) agama lain dan penyamaan (menyamakan) semua agama.