REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Majalah Suara Aisyiyah meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Penghargaan ini diberikan kepada Suara Aisyiyah sebagai majalah perempuan tertua di dunia, tidak hanya di Indonesia.
Suara Aisyiyah terbit secara berkesinambungan sejak 1926. Artinya, Suara Aisyiyah menjadi majalah tertua dengan usia yang sudah mencapai 95 tahun.
"Bukan hanya rekor nasional, tapi rekor dunia. Di Indonesia bukan hanya hadir majalah perempuan, tetapi majalah perempuan Islam tertua yang (terbit) berkesinambungan. Bayangkan saja peristiwa itu 95 tahun lalu, dimana kebetulan Indonesia masih di bawah penjajahan," kata Pendiri MURI, Jaya Suprana dalam Puncak Milad ke-95 Suara Aisyiyah yang digelar secara daring, Sabtu (30/10).
Masih hadirnya Suara Aisyiyah di tengah masyarakat, menurutnya membuktikan kemandirian dari perempuan Indonesia.
Dia pun mengucapkan bangga atas hadirnya majalah yang dikelola di bawah organisasi perempuan Islam terbesar ini. "Kami sangat bahagia dan bangga atas Suara Aisyiyah dan perempuan Islam Indonesia," ujar Jaya.
Untuk itu, dia berharap Suara Aisyiyah tetap dapat hadir di tengah masyarakat bahkan hingga akhir zaman. Pasalnya, kehadiran majalah ini juga mengemban misi dakwah khususnya dalam memajukan kaum perempuan.
"Rekor dunia ini dianugerahkan kepada Suara Aisyiyah, saya harapkan majalah ini akan terbit sampai ke abad 21 dan 22 dan selanjutnya sampai akhir zaman," jelasnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, juga mengucapkan selamat atas penghargaan yang diterima Suara Aisyiyah. Menurut Haedar, Suara Aisyiyah telah berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sejak awal berdirinya Aisyiyah.
Hadirnya Suara Aisyiyah pada 1926 dinilai sebagai wujud gerakan 'Aisyiyah yang berupaya mengangkat martabat perempuan Indonesia. Saat itu, Indonesia tidak hanya dihadapkan dengan penjajahan, namun juga dihadapkan dengan berbagai persoalan yang menyangkut perempuan. Aisyiyah, katanya, sebagai salah satu pilar pelopor dari Kongres Perempuan Indonesia 1 1928. Dalam kongres tersebut, Aisyiyah membuktikan bahwa kehadirannya merupakan pilar perempuan Islam yang berkemajuan.
Sebagai media, Suara Aisyiyah saat itu juga menjadi pilar yang berusaha membangun kesadaran literasi khususnya pada perempuan. Termasuk membangun literasi pada generasi muda perempuan Indonesia.
"Ketika ada banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia seperti kekerasan, akses di ruang publik dan berbagai hal lainnya, Suara Aisyiyah harus terus menjadi media yang membangkitkan literasi," kata Haedar.
Untuk itu, Haedar meminta agar Suara Aisyiyah tetap menjadi pelopor literasi perempuan berkemajuan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas berita, kualitas informasi dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat luas. "Sehingga dapat menjadi penerang, dapat menjadi suluh bagi perempuan Indonesia," ujar Haedar.
Pimpinan Redaksi Suara Aisyiyah, Hajar NS, mengatakan penghargaan yang diraih ini dapat menjadi penyemangat sebagai suluh atau literasi bagi kaum perempuan. Dengan begitu, Aisyiyah melalui Suara Aisyiyah mengemban misi mensyiarkan Islam berkemajuan yang memuliakan derajat perempuan.
"Ini menjadi penyemangat buat kami agar Suara Aisyiyah tetap bisa menjadi suluh untuk mensyiarkan Islam wasatiyah yang memuliakan derajat perempuan dan perempuan berkemajuan," kata Hajar.