REPUBLIKA.CO.ID, PALESTINA -- Israel mengumumkan pada Selasa (19/10) lalu bahwa mereka telah menyetujui permohonan (pendaftaran) sebagai penduduk Tepi Barat bagi sekitar 4.000 warga Palestina. Mereka diketahui telah tinggal selama bertahun-tahun di wilayah yang diduduki Israel itu tanpa status resmi.
Kantor penghubung Israel untuk warga Palestina, COGAT, melaporkan keputusan itu mempengaruhi 2.800 mantan penduduk Jalur Gaza yang meninggalkan kantong tersebut setelah pejuang Hamas merebutnya dalam pertempuran internal Palestina pada 2007.
Sekitar 1.200 warga Palestina lainnya, di antaranya pasangan tidak berdokumen dan anak-anak dari penduduk Tepi Barat juga akan menerima status resmi. Pencantuman dalam Pendaftaran Penduduk Palestina, yang dikendalikan Israel, akan memungkinkan kelompok tersebut menerima kartu identitas.
Dilansir di Al Arabiya, Kamis (21/10), dokumentasi tersebut akan memungkinkan mereka melakukan perjalanan melalui pos pemeriksaan militer Israel di Tepi Barat, daerah yang direbut dalam perang 1967. Israel menggambarkan blokade jalan tersebut sebagai kebutuhan keamanan. Meskipun pemblokiran jalan tersebut dikecam oleh warga Palestina dan kelompok hak asasi manusia sebagai pembatasan kebebasan bergerak.
Di Twitter, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz mengatakan dia menyetujui 4.000 pendaftaran tempat tinggal sebagai isyarat kemanusiaan dan sebagai bagian dari kebijakannya memperkuat ekonomi dan meningkatkan kehidupan warga Palestina di Tepi Barat. Seorang pejabat senior Otoritas Palestina (PA) yang menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat, Hussein Al Sheikh, mengatakan di Twitter bahwa 4.000 orang itu telah memperoleh hak kewarganegaraan mereka dan akan menerima kartu identitas.
Di bawah kesepakatan perdamaian sementara pada 1990-an yang membentuk Otoritas Palestina, Palestina diberi hak, dengan persetujuan sebelumnya oleh Israel, untuk memberikan tempat tinggal permanen di Tepi Barat dan Gaza kepada pasangan dan anak-anak warga Palestina. Kesepakatan itu tidak menentukan angka reunifikasi keluarga.
Kelompok hak asasi yang memeriksa aktivitas Israel di wilayah pendudukan mengatakan sistem kuota diberlakukan, dengan jumlah permintaan reunifikasi yang harus dipertimbangkan setiap tahun oleh Israel meningkat menjadi 4.000 pada 2000.
Israel membekukan proses tersebut ketika pemberontakan Palestina meletus pada September 2000. Israel kemudian mengabulkan sekitar 32.000 permintaan reunifikasi pada 2008 dan 2009, tetapi sebagian besar telah dibekukan, kecuali segelintir untuk alasan kemanusiaan.
Gantz memberikan persetujuan baru tersebut sekitar tujuh pekan setelah mengadakan pembicaraan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di kota Ramallah, Tepi Barat. Itu adalah pertemuan tingkat tertinggi antara Abbas dan seorang menteri Israel yang diumumkan kepada publik sejak pemerintah baru Israel dibentuk pada Juni 2021.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, yang merupakan seorang politikus sayap kanan, menentang pembentukan sebuah negara Palestina. Ia menilai itu sebagai isu yang memecah belah yang tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah lintas partisannya. Sementara perundingan damai Israel-Palestina gagal pada 2014.