REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON—Peristiwa tragis 11 September dua dekade lalu di Amerika Serikat telah mencoreng citra Muslim di mata dunia. Serangan traumatis yang menghancurkan Menara Kembar World Trace Center New York dan menewaskan ribuan orang itu menumbuhkan konsep ‘teroris Muslim’ dan Islamofobia yang secara bertahap meningkat di dunia Barat.
Terdapat banyak definisi tentang Islamofobia. Beberapa mengeklaimnya sebagai bentuk kebencian terhadap agama (Islam), sementara ada pula yang menafsirkannya sebagai kebencian terharap pemeluk Islam (Muslim). Ketakutan, kebencian, dan permusuhan yang berlebihan terhadap Islam dan Muslim ini dilanggengkan oleh stereotip negatif yang mengakibatkan bias, diskriminasi, dan marginalisasi serta pengucilan umat Islam dari kehidupan sosial, politik, dan sipil.
Namun kebencian ini nyatanya telah berevolusi, dan menargetkan orang-orang berkulit hitam, bahkan ketika mereka bukan Muslim. Selain rasisme, terdapat pula bentuk kebencian lain yang terjadi dalam Islamofobia, terutama seksisme atau diskriminasi gender yang lebih banyak menyerang wanita Muslim, terutama jika mereka mengenakan pakaian yang menyimbolkan agama mereka.
Terdapat banyak bentuk diskriminasi dan pelecehan yang dihadapi perempuan secara global, mulai dari gaji yang tidak setara, hingga pelecehan seksual, serangan misoginis ini mengambil tingkat diskriminatif yang berbeda bagi perempuan Muslim di Barat. Menurut Tell MAMA (Measuring-Anti Muslim Attacks) yang berbasis di Inggris, lebih dari setengah (58 persen) dari serangan Islamofobia yang dilaporkan di Inggris menargetkan wanita Muslim, 80 persen dari wanita ini secara visual dapat diidentifikasi sebagai Muslim (mereka mengenakan jilbab, niqab atau pakaian lain yang terkait dengan Islam).
Ringkasan Laporan tentang Islamofobia di Uni Eropa setelah 11 September 2001, yang diterbitkan oleh Pusat Pemantauan Eropa tentang Rasisme dan Xenofobia, menemukan bahwa wanita dan gadis Muslim adalah target utama serangan Islamofobia di sekolah dan tempat umum di sebagian besar negara Eropa. Di hampir semua negara yang termasuk dalam laporan tersebut, kalimat “sebagian besar sasarannya adalah perempuan/perempuan Muslim berhijab” disorot, yang mencerminkan aspek-aspek yang dapat diidentifikasi secara visual dari serangan tersebut.
Amerika yang dikenal sebagai Tanah Kebebasan juga gagal mengatasi meningkatnya kebencian terhadap wanita Muslim pasca-9/11, baik secara publik maupun institusional. Mulai dari kasus pemecatan wanita Kristen karena mengenakan jilbab untuk menunjukkan dukungan untuk wanita Muslim, hingga peristiwa pembakaran seorang wanita berhijab di Manhattan.
Wanita Muslim bercadar cenderung mengalami Islamofobia gender dalam kehidupan "nyata" karena persimpangan antara identitas Muslim "terlihat" dan gender mereka. Stigma ‘cadar’ yang dianggap merupakan simbol terorisme juga semakin menggiring ketertindasan perempuan. Setelah 9/11, para wanita Muslim yang “tertindas” ini selanjutnya dicap sebagai pendukung kekerasan dan terorisme.
Dengan demikian, visibilitas wanita membuat mereka menjadi target yang mudah, lemah, dan sasaran untuk diserang. Seperti yang dicatat oleh akademisi Steve Garner dan Saher Selod, jika penanda Islam tidak ada, maka mereka dapat terselamatkan dari serangan rasisme, karena pada kenyataannya visualisasi Muslim yang jelas merupakan prekursur yang paling kuat untuk perilaku negatif yang menargetkan Muslim.
Secara terpisah atau kolektif, stereotip ini memicu permusuhan, dan pelecehan terhadap wanita Muslim bercadar sebagai cara untuk menanggapi berbagai "ancaman" jilbab sebagai simbol penindasan gender, pemisahan diri dan terorisme. Sayangnya, perempuan tidak hanya dianggap bertanggung jawab atas tindakan laki-laki, tetapi juga dibiarkan sendiri untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan mereka.
Kebanyakan wanita dan gadis Muslim biasanya terlalu takut untuk mencari bantuan hukum dan dibiarkan diri mereka berkubang dalam trauma atas kejahatan kebencian yang mereka hadapi. Namun syukurnya, kini telah banyak wanita yang berani menyuarakan kesulitan mereka dan menindaklanjutinya melalui jalur hukum, namun ini hanya berlaku bagi mereka yang mendapatkan tindakan pidana besar seperti pemukulan, penusukan dan lainnya. Sedangkan mereka yang mengalami insiden tingkat rendah seperti tatapan atau icapan yang tidak pantas masih belum ditangani dengan baik secara hukum maupun sosial.
Serangan 9/11 juga menempatkan “visibilitas” wanita Muslim sebagai alasan Barat untuk mengajukan undang-undang diskriminatif gender, yang paling jelas adalah larangan burqa atau jilbab di Prancis, Jerman, dan bagian lain Eropa. Meskipun tidak dapat secara frontal dikatakan sebagai diskriminasi terhadap perempuan Muslim, dan pendefinisian pakaian Muslimah sebagai atribut teroris, namun banyak yang menganggap bahwa peraturan itu memiliki indikasi kesana.
Di sisi lain, berdasarkan data, pelaku serangan terhadap wanita Muslim, terutama fisik, adalah pria. Maka solusi untuk memerangi Islamofobia gender bukan hanya tanggung jawab wanita Muslim untuk menampilkan diri mereka dengan lebih baik, seperti yang sering disebutkan. Namun juga laki-laki Muslim yang harus berkontribusi dan bertanggung jawab atas representasi ini, karena segala tindakan mereka hampir selalu mempengaruhi perempuan dan anak-anak Muslim.
Penting untuk menyoroti visibilitas yang tidak terlihat dengan berkonsultasi dengan wanita Muslim untuk menemukan esensi masalah dan bekerja sama sebagai komunitas untuk memerangi diskriminasi gender dan kebencian yang dihadapi wanita Muslim.
Sumber:
https://www.dailysabah.com/opinion/op-ed/visibility-of-911s-invisible-victims-muslim-women