REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam sejarah Indonesia hingga saat ini toleransi merupakan ruh yang kuat bagi kehidupan bersosial-negara. Meski muncul ragam konflik yang terkesan bernuansa agama, namun menurut hal itu bukan dipicu agama.
“Konflik agama tidak pernah terjadi (di Indonesia). Agama hanya dikambinghitamkan, konflik-konflik yang terjadi hanyalah konflik kepentingan yang mencatut nama agama,” kata Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Komjen Polisi Syafruddin, dalam webinar Kerukunan Beragama dan Berbangsa Ditinjau dari Alquran, Al-Kitab, Wedha, dan Tripitaka, Jumat (2/7).
Dia menambahkan, kerukunan berbangsa perlu disikapi secara bersama-sama. Kerukunan beragama di Indonesia, kata dia, sudah sempurna meskipun dalam perjalanannya terdapat sejumlah peristiwa konflik yang mewarnai Indonesia. Bahkan, dia menegaskan, kerukunan beragama dan toleransi telah muncul sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah bangsa.
Tokoh Hindu dan guru besar Pertanian di Universitas Udayana, I Gede Pitana, mengatakan menurut Hindu, masalah toleransi pun bukanlah hal yang baru. Pihaknya menyebut, toleransi dan kerukunan merupakan jiwa dalam sejarah kelahiran Hindu.
Dia menjelaskan, terdapat dua tugas utama dalam Hindu yang sarat dengan kerukunan dan toleransi. Pertama, tugas agama atau dharma agama dan kedua adalah dharma negara atau tugas terhadap negara. “Untuk itu antara keduanya, tidak boleh didikotomikan. Tapi harus kita seimbangkan,” kata dia.
Dia pun menyebut pada kitab suci Wedha, aspek toleransi atau penghargaan terhadap orang lain sangat menjadi prinsip dasar.
Toleransi, kata dia, dapat dilihat dalam berbagai tataran, baik secara teologis maupun antropologis. Dalam aspek teologis, umat Hindu mengenal enam perspektif.
Menariknya, dia melanjutkan, tidak ada satu pun perspektif yang menihilkan perspektif lainnya. Bagaimanapun cara seseorang umat melakukan penyembahan kepada Tuhan, kata dia, maka semua itu diterima.
“Maka jangan heran misalnya jika melihat orang-orang Hindu itu menyembah Tuhan dengan nama-nama berbeda, karena itu sesuai dengan manifestasi yang ia yakini kepercayaanya. Contohnya saya, sebagai akademisi, saya menyembah Tuhan yang wujudnya ilmu pengetahuan atau dalam Hindu disebut sebagai Saraswati,” kata dia.
Dia pun menambahkan tentang sejarah rakyat Nusantara yang begitu toleran. Pihaknya menyebut, toleransi sudah muncul sejak abad ke-8 dan 9 di Indonesia. Buktinya antara Hindu dengan Budha terdapat calik dan juga candi yang saling berdampingan.
“Saudara kami yang bergama Islam, kita sebutnya dengan sebutan nyamo Islam. Menyebut Idul Fitri, disebut galungan Islam, Natal kita sebut galungan Kristen. Jadi begitu cara penyebutannya dalam Hindu, tidak ada istilah kemerekaan dalam agama kami, yang ada hanyalah perbedaan agamanya,” kata dia.
Biksu Nyanabandhu Shakya Bumansah menambahkan, toleransi dan kerukunan umat beragama juga menjadi urat nadi agama Budha.
Melihat tatanan sosial saat ini yang semakin berubah dan statis, kata dia, dia pun mengajak umat beragama untuk mampu menyikapi perubahan-perubahan.
“Jangan sampai umat Budha merasa paling hebat, sebab pilar Asoka itu mengajarkan agar umat Budha tidak boleh mencela agama lain,” kata Biksu Nyanabandhu.
Tokoh Kristen Romo FX Wahyu Tri Wibowo pun mengatakan bahwa iman kepada Tuhan adalah untuk mempersatukan umat manusia, bukan untuk memisahkan manusia dan tatanan sosial yang ada. Agama Kristen, kata dia, adalah agama yang menjunjung tinggi cinta dan kasih terhadap seluruh lapisan manusia. “Semakin beriman, semakin solider,” kata Romo FX Wahyu.