REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Pemerintah Prancis menerima kritik pada Rabu (30/6) karena menargetkan perempuan Muslim. Larangan cadar yang merupakan bagian dari undang-undang anti-separatisme, dinilai oleh organisasi hak asasi manusia asebagai pelanggaran hak dan kebebasan.
Dalam debat, seorang anggota parlemen Prancis menyuarakan keprihatinan tentang bagaimana perempuan Muslim yang tinggal di Prancis menjadi sasaran karena mengenakan jilbab mereka.
“Saya benar-benar tidak mengerti mengapa kami menargetkan wanita berjilbab di Prancis,” kata anggota Parlemen Annie Chapelier.
Pernyataan tersebut muncul setelah Gerakan Demokratik (MoDem), sekutu Presiden Emmanuel Macron La Republique En Marche (LREM) mengusulkan larangan petugas pos pemungutan suara memakai simbol agama.
Usulan itu memicu diskusi di parlemen. Chapelier, anggota kelompok Ansambel Agir di Majelis Nasional, mengingatkan hanya 25 persen pemilih yang pergi ke pos pengambilan hak suara.
Dia menekankan pemerintah sedang mengembangkan strategi untuk melarang orang yang melakukan tugas sipil sebagai petugas pemungutan suara.
“Sebelum perempuan berjilbab turun tangan sebagai petugas, laki-laki yang memakai kippah tidak diberitahu apa-apa. Jangan membuat alasan untuk menargetkan dan menuduh perempuan berjilbab” ujar dia.
Setelah perdebatan dua jam tentang usulan tersebut, akhirnya parlemen menolaknya. Tahun lalu, Macron mengenalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk memerangi separatism Islam. Itu diadopsi oleh senat pada 13 Februari dengan beberapa amandemen yang disetujui oleh Majelis Nasional.
Majelis mulai memperdebatkan kembali RUU pada 28 Juni. RUU tersebut melarang orang tua mengenakan simbol agama saat menemani anak-anak mereka dalam perjalanan sekolah, mengenakan burkini dan mencegah anak-anak menyembunyikan wajah mereka atau mengenakan simbol agama di ruang publik.
Pada Mei, LREM melarang seorang kandidat Muslim Sara Zemmahi mencalonkan diri dalam pemilihan lokal setelah dia terlihat mengenakan jilbab dalam pamflet kampanye.
LREM menegaskan partai percaya Prancis sekuler seharusnya tidak memiliki ruang untuk menampilkan simbol-simbol agama secara terbuka dalam dokumen kampanye pemilihan.
“Wanita ini tidak akan menjadi kandidat en Marche,” kata Sekretaris Jenderal Partai Stanislas Guerini kepada radio RTL. Selebaran itu menggambarkan Zemmahi mengenakan jilbab putih berdiri di samping tiga orang lainnya. “Berbeda, tapi bersatu untuk Anda,” kata pamflet mengacu pada keragaman.
Sumber: dailysabah