REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat kebijakan anti-Islam bangkit dan suara Muslim dibungkam, edisi terakhir jurnal akademis terkemuka di Turki bernama Insight Turkey memperlihatkan praktik anti-Islam tengah berlangsung di seluruh dunia.
Edisi tersebut memuat artikel-artikel yang berfokus pada praktik anti-Islam politik, ekonomi, sosial dan budaya di berbagai negara. Contohnya di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia, Austria, Denmark, Argentina, India, dan Turki. Ini menunjukkan sentimen anti-Islam tidak hanya terjadi di negara barat.
Ada beberapa parameter yang menentukan bangkitnya sentimen anti-Islam di dunia, seperti yang ditulis oleh Muhittin Ataman di kolom Daily Sabah, Rabu (30/6).
Muslim sebagai yang lain
Setelah Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, politikus Barat mulai menganggap Islam dan Muslim sebagai hal lain dalam dunia Barat. Meskipun Islam dan Muslim tidak menimbulkan ancaman nyata bagi Barat dan dunia, pemerintah Barat terus mempolitisasi dan meminggirkan Islam dan Muslim sebagai musuh utama mereka.
Selain itu, negara-negara non-Barat memiliki alasan sendiri atas pembatasan Islam dan Muslim. Misal, China dan India meminggirkan Islam dan Muslim dengan alasan yang berbeda.
Di India, Muslim merupakan populasi terbesar kedua. Jumlahnya sekitar 200 juta orang. Anak benua India terbelah menjadi tiga bagian saat kaum Muslim meminta negaranya sendiri, yaitu Pakistan dan Bangladesh.
Konflik India dan Pakistan tentang hegemoni regional dan krisis Kashmir sudah berlangsung lama. Oleh karena itu, politikus India cenderung meminggirkan Islam dan Muslim. Di sisi lain, rezim personalistik di dunia Arab, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir meminggirkan Islam dan Muslim agar dapat mempertahankan rezim despotik mereka.
Karena kepentingan negara-negara Barat yang ingin mempertahankan hubungan hierarkisnya, banyak negara Arab meminggirkan Islam dan Muslim. Satu-satunya perbedaan antara rezim Arab dan negara-negara Barat adalah rezim Arab mengizinkan representasi Islam dalam kehidupan sosial.