Selasa 29 Jun 2021 03:40 WIB

Pentingnya Mengikis Islamofobia lewat Seni

Islamofobia didasarkan pada kesalahpahaman dan kegagalan untuk memahami Islam.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Sejumlah umat Muslim usai melaksanakan shalat tarawih di Pusat Komunitas Muslim Chicago, Senin (12/4). Umat Muslim di AS tergolong multietnis dan nasionalitas. Tercatat jumlah umat Muslim Chicago mencapai angka 350 ribu jiwa atau lima persen dari populasi. Terdapat pula penganut Islam yang merupakan warga kulit putih AS dan Hispanik (keturunan latin). Namun, sejak lama Chicago terkenal sebagai wilayah konsentrasi kaum Muslim Afro-Amerika. Meski berbeda bahasa, adat maupun budaya, akan tetapi dalam beberapa kesempatan, terutama pada ibadah shalat serta aktivitas Ramadhan, satu sama lain akan menanggalkan perbedaan untuk bersatu di bawah panji kitab suci Alquran dan sunnah Nabi. Umat Muslim Chicago benar-benar menikmati perbedaan yang ada dan mempererat tali ukhuwah di saat bersamaan. (AP Photo/Shafkat Anowar)
Foto:

Kurangnya representasi Muslim yang kronis di Hollywood dan media Barat lainnya tidak dapat dipisahkan dari kefanatikan yang meluas yang dihadapi oleh banyak anggota agama kita. Tahun ini, Islamofobia, yang bukan hanya ketakutan dan kebencian terhadap Islam tetapi juga termasuk diskriminasi dan kekerasan anti-Muslim, mencapai proporsi epidemi. PBB melaporkan bahwa hampir 1 dari 3 orang Amerika, dan bahkan persentase yang lebih tinggi dari orang Eropa, memandang Muslim secara negatif.

Islamofobia didasarkan pada kesalahpahaman dan kegagalan untuk memahami keyakinan kita yang beragam dan menghormati keyakinan kita yang kaya. Potensi intoleransi, diskriminasi, bahkan kekerasan cukup besar. Untuk menyampaikan Islam sebagai bagian dari permadani yang kaya akan budaya dan peradaban manusia, umat Islam harus memiliki kesempatan untuk mendefinisikan dan menjelaskan Islam — dengan istilah kita sendiri.

Sebaliknya, kita dihadapkan dengan narasi merusak yang mereduksi kita menjadi karikatur, baik penindas yang kejam atau yang tertindas dengan kejam. Dalam kasus "They Are Us", kami adalah yang terakhir.

Bulan ini, sitkom Kanada "Kim's Convenience" dikritik oleh pemerannya sendiri karena memproduksi alur cerita "rasis" dan mengabadikan karakter Korea satu dimensi. Pekan lalu, Lin-Manuel Miranda meminta maaf atas kegagalan memasukkan karakter Afro-Latino dalam film "In the Heights". Kritik terhadap "They Are Us" karena membingkai pembantaian Christchurch 2019 adalah bagian dari konteks yang lebih luas ini, namun juga spesifik tentang bagaimana Muslim digambarkan.

Kiasan kekerasan merajalela dalam budaya Barat, sementara representasi Muslim yang bernuansa dan otentik jarang terjadi. Jika hanya ini yang tergambar di media massa, mengapa umat Islam dipandang sebagai vektor intoleransi, kekerasan, dan penindasan?

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement