REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Bertafakur merenungkan kebesaran Allah SWT sembari melakukan introspeksi diri merupakan salah satu laku orang-orang saleh terdahulu.
Ishak bin Khalaf bercerita bahwa pada suatu malam duduklah Dawud Ath Thai di atas teras rumahnya sewaktu terang bulan. Dia bertafakur, merenungkan semesta dengan mengarahkan pandangannya ke langit.
"Ternyata air matanya bercucuran hingga akhirnya terjatuh ke bawah tempat tinggal tetangganya," demikian dikisahkan Al Imam Abu Hamid Al Ghazali di kitab Al-Munqidz Min Ad-Dhalal yang diterjemaahkan KH R Abdullah Bin Nuh dengan judul "Tafakur Sesaat Lebih Baik Daripada Ibadah Setahun."
Tentangganya itu terbangun dengan terkejut dan segera menghunuskan pedang ke arah Daud sambil menghardiknya. Karena dia menyangka rumahnya telah kemasukan pencuri.
Namun, setelah dilihatnya siapa orang itu sebenarnya, mundurlah ia sambil meletakkan pedangnya kembali dan berkata, "Siapa yang menjatuhkan Tuan dari atas ke lantai ini?," tanya tetangganya orang itu.
"Aku tidak merasa ada yang menjatuhkan dan tidak tahu apa yang sudah terjadi," jawab Dauwd dengan tenang.
Junaid berkata, "Saat duduk terbaik ialah waktu tafakur. Merenungkan alam tauhid di taman makrifat sambil minum dari piala cinta, minum dari sungai kasih yang jernih, dalam suasana baik sangka kepada Allah."
Dalam pernyataan Junaid lainnya, dia mengatakan, “Oh alangkah mulianya duduk demikian ini. Alangkah lezatnya minumannya itu. Beruntung benar orang yang memperoleh karunia demikian."