Jumat 28 May 2021 05:57 WIB

Catatan Mengejutkan Rabi Soal Yahudi Lama di Jawa-Sumatra

Yahudi sudah memasuki wilayah nusantara sejak abad belasan.

Yahudi sudah memasuki wilayah nusantara sejak abad belasan. Ilustrasi Yahudi
Foto:

Sebelum bertolak ke Australia, Rabi Saphir disarankan mengunjungi masyarakat Yahudi di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia memenuhi saran itu dan mengunjungi tiga kota di Jawa pada 1861, untuk bertemu keluarga-keluarga Yahudi.

Di Batavia, Rabi Saphir bertemu 20 keluarga Yahudi. Dalam catatan perjalanannya ia menulis, “Mereka tidak lagi menjalankan ritual Judaisme, mengadakan upacara brit milah (mengkhitan anak laki-laki), karena ketiadaan pemuka agama.” 

Jika keluarga Yahudi di Batavia ingin mengkhitankan anak laki-lakinya, mereka harus mengumpulkan banyak uang untuk memanggil rabi dari Singapura. Situasi serupa juga dijumpai Rabi Saphir di Semarang, tapi tidak di Surabaya.

Di Surabaya, Rabi Saphir menemukan sinagoge yang terpelihara, dengan masyarakat Yahudi Shepardic di sekelilingnya. Di sini, brit milah dijalankan dengan baik karena ada rabi yang siap memimpin upacara. Minyan atau ritual umum yang harus diikuti minimal 10 laki-laki setiap Sabat, terpelihara.

Rabi Saphir juga mencatat Yahudi di Batavia dan Semarang berasal dari Jerman dan Belanda dengan latar belakang Azhkenazim. Mereka tidak hanya murtad terhadap ajaran, tapi ikut-ikutan merayakan Natal.

“Di Semarang dan Batavia, tidak ada pemakaman khusus Yahudi. Di Surabaya, Yahudi Baghdadi memiliki tanah wakaf untuk pemakaman,” demikian dikatakan Rabi Saphir. 

Khusus tentang Yahudi di Batavia dan Semarang, Saphir secara khusus menulis, “Beberapa memiliki istri Yahudi, lainnya menikah dengan wanita lokal. Mereka tidak memiliki guru agama, tempat penyembelihan hewan, mohel (pengkhitan), tapi mereka tidak mengingkari asal-usul mereka. Mereka mengaku Yahudi. Saya katakan kepada mereka bahwa saya akan mengkhitan semua Yahudi yang ingin kembali ke kepercayaan Ibrahim.”

Di Surabaya, Rabi Saphir juga berbicara kepada orang-orang Yahudi, terutama Azhkenazim, yang sekian lama meninggalkan ajaran Ibrahim. “Tidakkah kalian malu kepada orang Arab dari Muskat dan Hadramaut. Mereka mampu menjaga keimanan mereka, membangun masjid, menjalankan ajaran dalam nama Allah.” 

Rob Cassuto, salah satu anggota Keluarga Cassuto yang lahir di Batavia, memperkirakan migrasi besar-besaran Yahudi dari Eropa, terutama Belanda dan Jerman, terjadi pada pengujung abad ke-19. Migrasi mencapai puncaknya menjelang pergantian abad ketika pemerintah Belanda mencoba membentuk koloni kulit putih yang mapan di Hindia-Belanda.

Lewat iklan di surat kabar, Kerajaan Belanda mengajak warganya mengisi posisi-posisi penting di tanah jajahan. Orang Yahudi yang paling pertama merespons ajakan ini. Bersama orang Belanda, mereka datang ke Batavia dan mengisi posisi penting di Pemerintahan Hindia-Belanda, menjadi guru di sekolah-sekolah anak-anak Eropa dan Cina, atau berkarier di ketentaraan.

 

Mereka yang tidak kebagian posisi di pemerintahan, berprofesi sebagai pengacara, dokter, pedagang, atau pengusaha perkebunan di wilayah-wilayah yang terkena liberalisasi tanah. Mereka dengan cepat menjadi sangat kaya dibanding pemukim kulit putih lainnya. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement