REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Saat pendudukan Israel di jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur pada 1967, Israel juga mencaplok pasar Palestina di daerah tersebut demi kepentingan ekonominya. Menurut laporan UNCTAD pada 2019, Israel juga merebutnya dengan cara yang selektif, tidak setara, dan asimetris.
Padahal, jika menilik ke belakang, tepatnya sebelum 1967, ekonomi di wilayah tersebut sedang berkembang pesat. Saat itu, penghasilan produksi dan pendapatan sangat signifikan dalam menopang pertumbuhan satu juta populasi. Seharusnya, jumlah itu bisa meningkatkan PDB per kapita.
Namun demikian, pada 2004, PDB per kapitanya hanya sekitar 1.349 dolar AS. Jumlah itu menjadikannya sebagai taraf ekonomi menengah ke bawah. Waktu terus berselang, kondisi Palestina semakin di ambang kehancuran ekonomi dan kemanusiaan.
"Prospek ekonomi semakin memburuk sebagai akibat aneksasi di wilayah yang luas di Tepi Barat, dampak ekonomi akibat pandemi, aliran bantuan yang tersendat, dan hilangnya ratusan juta dolar karena Israel," kata laporan UNCTAD dikutip dari Salaam Gateway Ahad (23/5).
Tak sampai di sana, sebelum ada pendudukan Israel, pertanian menjadi komponen terpenting bagi perekonomian Palestina. Sektor itu mempekerjakan sekitar seperempat angkatan kerja dan menyumbang nilai yang besar untuk PDB.