REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) menyayangkan meningkatnya eskalasi kekerasan di Jalur Gaza yang terus memakan korban di kalangan sipil dan non kombatan. Kekerasan yang berlangsung selama Ramadhan dan Syawal — yang notabene merupakan bulan-bulan mulia bagi Muslim dunia — dinilai sebagai kejahatan yang tak berhati nurani.
“Amat memenuhi syarat untuk disebut sebagai Kejahatan HAM Berat (Gross Violation of Human Rights) dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity),”jelas Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional BSMI Muhammad Djazuli Ambari lewat keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Senin (17/5).
Menurut Jazuli, serangan berdarah terhadap warga sipil, anak-anak, kaum perempuan dan non kombatan lainnya di Jalur Gaza merupakan pelanggaran nyata terhadap Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya. Kekerasan tersebut juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 38 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child).
Lebih lanjut, Jazuli menegaskan, serangan terhadap rumah sakit, fasilitas medis dan tenaga medis di Jalur Gaza merupakan bentuk dari indiscriminate attack dan pelanggaran terhadap principle of necessities dalam hukum humaniter internasional. Hal ini termaktub dalam Konvensi Jenewa 1949.
Tidak hanya itu, Jazuli menyebut serangan brutal Israel merupakan pelanggaran terhadap Universal Declaration of Human Rights 1948, International Convenant on Civil and Political Rights 1966, Convention Against Torture 1984, dan Rome Statue on International Criminal Court 1988. Utamanya tentang Hak Hidup (Right to Live), Hak Bebas dari Penyiksaan (Freedom of Torture) dan Hak Atas Rasa Aman (Freedom from Fear).
Karena itu, Jazuli menilai, sudah sepatutnya masyarakat internasional termasuk Pemerintah RI mengutuk keras serangan berdarah tersebut. Komunitas internasional juga harus mendorong para pelakunya untuk diadili di pengadilan pidana independen. “Apabia pengadilan tersebut sukar dihadirkan, maka pelakunya harus diseret ke International Court of Justice di Den Haag dengan inisiatif dari jaksa penuntut umum ICC dan dukungan dari Dewan Keamanan PBB (UN Security Council).”