Senin 10 May 2021 14:04 WIB

Martabat Makanan dan Ngejot di Hari Lebaran

Kami mengirimkan berbagai 'anteran' Lebaran makanan bermartabat.

Tradisi berbagi makanan lebaran di masa lalu.
Foto:

                   *****

Dan mendirikan masjid kala itu jelas tak mudah, meski berada di kawasan kampung yang mayoritasnya Muslim. Ini terjadi karena keterbatasan dana sehingga harus dilakukan dengan cara swadaya. Beda dengan pendirian Gereja yang kata para tetua itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial Belanda. 

Akibatnya, masjid kemudian berada di tempat yang lebih tersembunyi di tepi jalan kawasan kampung yang lain. Ini beda dengan lokasi gereja yang berada di tepi jalan besar. Dan uniknya, antara mereka yang mewakafkan tanah untuk pendirian masjid dan gereja, punya hubungan darah. 

Imbas kedekatan hubungan darah ini terjadi sampai sekarang. Contohnya budaya mengantar makanan (di Betawi disebut 'ngejot', di Jawa disebut 'anteran',red).

Kala Idul Fitri dan Natal. Setiap Natal rumah kami selalu mendapat kue-kue kering hidangan khas Natal. begitu juga sebaliknya, kami balas 'anteran' makanan mereka kala lebaran dengan aneka kue dan makanan yang khas. Antara kedua belah pihak sudah tahu 'posisi masing-masing' mengenai ragam makanan yang akan diberikannya.

Ini misalnya, para keluarga yang Nasrani tidak akan pernah mengirim makanan memakai daging ayam kala mengirimkan lebaran. Karena, pasti mereka tahu tidak akan pernah kami makan.

Begitu juga yang Muslim sangat tahu diri mengirimkan makanan yang tak halal -- misalnya yang mengandung babi (kini ribut dengan isu makanan babi panggang ambawang,red)-- kepada mereka, meski mereka Nasrani. Tak ada cerita itu. Kami tahu diri dan menjaga marwah persaudaraan. Kami hanya akan mengirimkan makanan yang bermartabat. Makanan yang kami kirim juga makanan yang kami makan atau menjadi hidangan lebaran.

Bahkan, pada suatu waktu misalnya tetangga kami yang Nasrani mengirimkan opor ayam, ketika mengirimkan makanan mereka selalu terlebih dahulu menyebut bila daging ayamnya hasil sembelihan bapak modin. Mereka ucapkan terus terang di depan. Tidak ada ucapan yang diam-diam. Saudara kami pun tak main-main. Mereka juga jaga martabat diri dan makanannya.

Alhasil, dari dahulu kami memang selalu saling antar makanan secara bermartabat kepada saudara kami yang berbeda keyakinan. Begitu pun saudara kami membalas 'anteran' makanan dengan sikap mulia.

Jadi tak ada 'anteran' makanan yang 'aneh-aneh' di tempat tinggal kami. Dan kebiasaan ini sudah berlangsung -- sekali lagi seabad lebih. Meski hari ini ada yang kurang, yakni tak ada lagu suara gemuruh petasan di Subuh dan mudik yang sudah dua kali urung dilakukan gara-gara pendemi.

Selamat lebaran ya?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement