Senin 10 May 2021 14:04 WIB

Martabat Makanan dan Ngejot di Hari Lebaran

Kami mengirimkan berbagai 'anteran' Lebaran makanan bermartabat.

Tradisi berbagi makanan lebaran di masa lalu.
Foto:

                    ***** 

Dan bila hari ini ada himbauan dari presiden untuk berbagi makanan dan menyebut bila lebaran ini untuk semua agama, kami sudah melakukannya jauh-jauh hari. Bahkan kami punya tradisi yang sudah turun-temurun, bahkan mungkin sudah lebih dari seratus tahun.

Mengapa? Itu karena kami tinggal di tengah perkampungan atau pojok desa yang banyak penganut Nasraninya. Mereka adalah saudara sedarah kami. Mereka dahulu beralih menjadi Nasrani berkat atau imbas dari misi pengikut Kyai Sadrach yang berpusat di Purworejo bagian selatan.

Jadi mereka kebanyakan adalah para keturunan kakek buyut kami. Bahkan, gereja yang dibangun pada akhir 1890-an merupakan wakaf kakak eyang buyut putri kami. Jadi dalam satu keluarga kala itu ada yang menurunkan kiai dan ada yang menurunkan pendeta. Ini berlangsung sampai sekarang.

Eyang buyut putri kami menurunkan kyai karena menikah dengan keluarga yang kala itu menjadi santri di Pesantren Termas, Pacitan. Generasi berikutnya 'nyantri' di Pesantren Lirap (Kebumen), Leler (Banyumas). Kini ada yang menjadi guru di SMK milik Pesantren Somalangu, Pesantrei Nampudadi (Kebumen), hingga mendirikan pesantren di Cilacap.

Kami selalu terkenang cerita heroik mereka kala pergi ke pesantren dengan cara berjalan kaki selama satu pekan dari kawasan pantai Jawa bagian selatan menuju ke timur melalui keraton Jogja terus ke utara melintasi pinggang gunung Lawu di Solo.

Bahkan, keluarga sempat punya beberapa petak sawah di sekitar pesantren yang kemudian diwakafkan ke pesantren itu dengan ikrar: bila nanti ada keluarga yang menjadi santri di sana, maka dia membiayai pendidikannya dengan mengambil bagian dari hasil sawah itu. Kalau tidak ada, maka lahan sawah itu menjadi milik pesantren.

Jadi antara kami yang Muslim dan Nasrani hidupnya biasa saja. Masjid di kampung kami berdiri lebih dari tiga puluh tahun sebelum gereja berdiri. Dan itu atas prakarsa dan wakaf eyang-eyang kami yang mantan santri Termas itu.

''Saat ini masjid harus berdiri karena gereja sudah lebih dahulu berdiri. Kita tak boleh Jumatan lagi di masjid yang ada di kampung sebelah. Ini penting bagi nasib anak-cucu kita,'' kata mereka.

Sikap atas kepedulian akan nasib dakwah Islam, seiring dengan sikap mereka yang tak mau bersekolah meski pun di tawari bisa melanjutkan sekolah ke AMS, HBS, atau sekolah dokter di Batavia, Stovia. Dan mereka punya dasar, sebab kala itu di awal tahun 1900-an, mereka sudah tamat SD.

''Dari pada sekolah Belanda, mending kalian aku berikan kerbau dan buka lahan di tepi kali Citandui (perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat di bagian selatan.red) sana. Aku punya lahan di sana,''  kata Eyang Buyut.

Lahan di kawasan Cilacap bagian barat itu memang telah lama dipunyainya. Semenjak lahan di kawasan dengan hutan belukar banyak harimau Jawa serta lahan yang terkena aliran pasang surut teluk Nusakambangan. Kawasan ini jadi incaran karena letaknya berada tak jauh dari stasiun dan jaringan jalan kereta api di Jawa yang kala itu baru dibangun.

                       

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement