Jumat 30 Apr 2021 17:02 WIB

Malem Selikuran, Lailatur Qadar: Ngelindur Jawa Bukan Islam?

Peringatan Lailatul Qadar di Jawa

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
Peringatan Lailatur Qadar (Malem Selikuran) di Bangsal Menganti, Keraton Yogyakarta.
Foto:

Lalu, sejak kapan ilusi orang 'nglindur' itu ditancapkan dalam benak sejarah orang Indonesia, orang Jawa khususnya?

Lagi-lagi jawabannya usai kekalahan perlawanan rakyat dan kaum santri di Jawa pada waktu perang Diponegoro (1825-1830). Sejak era itu Jawa diidealkan dengan Jawa masa kuno (Jawa Dwipa) yang itu jelas sudah tak ada bekasnya.

Seperti diakui peneliti Inggris Peter Carey dan para profesor sejarah Islam lainnya, seperti Hermanu Joebagio dari UNS, setelah perang yang membangkrutkan ekonomi Belanda dan memakan begitu banyak orang Jawa itu (setengah penduduk Jogjakarta dan Surakarta sampai berkurang) atau sekitar 250 ribu penduduk Pulau Jawa yang kala itu penduduknya baru sekitar 6 juta jiwa tewas, Jawa khususnya, Hindia Belanda memasuki era baru.

Sejak itu untuk pertama kalinya Hindia Belanda berada dalam genggaman resmi tangan pemerintah Belanda, karena sebelum itu wilayah ini berada di bawah kekuasaan perusahaan swasta, yakni kongsi dagang, VOC belaka.

Nah, di situlah antara kepentingan kolonial dan penyebaran agama Kristen kemudian bersatu. Bila sebelumnya VOC tak mau terlibat dalam penyebaran agama karena takut hanya menimbulkan perlawanan, kini pemerintah kolonial Belanda ikut turut campur menyebarkannya. Pusat gerakan itu terindikasi berada di kawasan lereng gunung Kelud, di Jawa Timur. Di sanalah omongan 'nglindur ' itu disebarluskan dengan beraneka ragam ekpresi.

Alhasil, kepentingan memisahkan Islam dan Jawa menjadi penting dan satu tujuan bagi kaum kolonial dan kalangan misi kala itu. Pada satu pihak ditancapkan kebenak rakyat dengan tujuan sekuler ekonomi, yang lainnya 'dibenamkan' dengan tujuan kebutuhan keagamaan.

Karena itu, 'omongan dan ilusi 'nglindur' bahwa 'Islam bukan Jawa' dibesarkan, bahkan dibikin kajian teori ilmiah, materi ajar pendidikan, hingga dibentuk lembaga kajiannya.

Uniknya, warisan pemisahan 'nglindur' ini terbawa hingga sekarang. Ini terbukti dengan munculnya varian 'Trikotomi' dari Clifford Gertz: Santri Abangan dan Priyayi pada akhir 1950-an.

Tak hanya itu, kesalahmengertian yang disengaja ini kemudian berlangsung hingga zaman geger PKI 1965, hingga zaman milenial dengan munculnya pembelahan Kampret dan Kadal Gurun (Kadrun).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement