REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Gemah ripah loh jinawi, julukan bagi Indonesia, negeri agraris kepulauan dengan perairan dan lahan pertanian yang begitu luas. Namun, sayangnya nasib sebagian besar petani atau petani tambak maupun nelayan, masih belum masuk di level sejahtera. Biaya tinggi dan manajemen penghasilan yang tak seberapa, membuat banyak petani kelimpungan.
Ada sejumlah masalah yang mengintai pertanian kita di saat krisis pandemi. Pertama, lahan sawah kian menyusut. BPS mencatat, luas lahan baku sawah menurun dari 8,1 juta hektar pada 2015 menjadi 7,5 juta hektare empat tahun setelahnya. Kedua, upah sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan turun 5,95 persen akibat pandemi Covid-19.
Menjadi yang turun kedelapan terbesar dari seluruh lapangan usaha. Rata-rata upah pekerja di sektor tersebut sebesar Rp 1.907.188,- per bulan atau kedua terendah dari 12 lapangan pekerjaan utama yang ada. Artinya, sektor ini belum mampu sepenuhnya menjadi bantalan ekonomi dalam masa resesi.
Minimnya kesejahteraan petani di kala pandemi tergambar dari nilai tukar petani (NTP) yang sempat menyentuh titik terendah pada Mei 2020 menjadi 99,47. Penyebabnya adalah penurunan indeks harga yang diterima petani (IT) lebih besar dari harga yang dibayar petani (IB). IT menurun 0,86 persen dan IB turun 0,01 persen. Petani terbilang sejahtera jika NTP menyentuh 100. (Sumber: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian)
Dompet Dhuafa sebagai lembaga sosial kemanusiaan yang salah satu fokusnya dalam pemberdayaan masyarakat pra sejahtera, terutama di pedesaan, turut menyasar sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Di mana para pelakunya banyak terhimpit masalah ekonomi (saat ini). Berbagai upaya dan inovasi dilakukan untuk menciptakan produktivitas hasil pertanian yang optimal. Dengan mengembangkan dan menumbuhkan skala ekonomi mereka dari aspek pertanian, peternakan dan perikanan yang digeluti secara lebih baik. Sehingga dampaknya lebih optimal.
Dengan pengelolaan program zakat produktif untuk pembiayaan beragam program pemberdayaan tersebut, nantinya diharapkan berdampak untuk menstabilkan rantai pemasaran termasuk harga hasil panen. Sehingga para petani dan peternak dapat memasuki level yang lebih baik.
Hal tersebut tentu tak dapat bergulir dengan kerja sendiri saja. Sangat membutuhkan kolaborasi yang terukur, berupa pengembangan teknologi pertanian, peternakan dan perikanan yang maksimal. Kemudian juga tenaga pendamping yang handal dan hasil kaji dampak (riset) yang teruji menjadi tolok ukur keberhasilannya. Oleh karena itu, Dompet Dhuafa menggandeng Universitas Gadjah Mada dalam menciptakan berbagai inovasi yang dapat membantu merealisasikan tujuan tersebut.
"Tentu kami tidak bisa bekerja sendiri, kami butuh dukungan banyak pihak dari para expert di bidangnya masing-masing. Untuk itu kami merangkul banyak pihak, salah satunya UGM yang memiliki experties di banyak disiplin ilmu," ungkap Nasyith Majidi, selaku Ketua Yayasan Dompet Dhuafa Republika, saat menyampaikan sambutannya di Yogyakarta, Rabu, 28 April 2021.
Senada dengan Nasyith, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng, D.Eng, selaku Rektor UGM menyatakan, "UGM terbuka, siap membantu dan bersinergi dengan Dompet Dhuafa di berbagai bidang. Sehingga dapat meluaskan manfaat bagi masyarakat".