Senin 15 Mar 2021 21:54 WIB

Pemerintah Malaysia Ajukan Banding Putusan Lafaz Allah 

Pemerintah Malaysia menilai lafaz Allah tak boleh digunakan non-Muslim

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Pemerintah Malaysia menilai lafaz Allah tak boleh digunakan non-Muslim. Ilustrasi Lafadz Allah
Foto:

 

Pengadilan Tinggi pada Juli 2014 memutuskan bahwa Kementerian Dalam Negeri salah karena menyita CD dan memerintahkan agar dikembalikan, tetapi saat itu tidak membahas poin-poin konstitusional. Jill Ireland akhirnya menerima CD-nya pada September 2015, beberapa bulan setelah Pengadilan Banding pada Juni 2015 mengarahkan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukannya.

Pada saat yang sama, Pengadilan Banding pada bulan Juni 2015 mengirimkan dua masalah konstitusional kembali ke Pengadilan Tinggi untuk disidangkan, yaitu deklarasi bahwa itu adalah hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 11 Konstitusi Federal untuk mengimpor publikasi dalam pelaksanaan haknya untuk mempraktikkan agama dan hak atas pendidikan, dan pernyataan di bawah Pasal 8 bahwa dia dijamin kesetaraan semua orang di depan hukum dan dilindungi dari diskriminasi terhadap warga negara atas dasar agama dalam penyelenggaraan hukum - khususnya Undang-Undang Percetakan dan Publikasi 1984 dan Customs Act 1967).

Pengadilan Tinggi kemudian menyidangkan masalah konstitusional selama dua hari pada bulan Oktober dan November 2017, namun keputusan yang semula dijadwalkan akan disampaikan pada Maret 2018 telah ditunda beberapa kali selama bertahun-tahun, karena berbagai alasan.

Namun pada 2018, Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur akhirnya memutuskan bahwa Jill Ireland berhak untuk tidak menghadapi diskriminasi atas dasar keyakinannya. Dalam keputusannya, Hakim Nor Bee memutuskan bahwa kata "Allah”, bersama dengan tiga kata lain yang berasal dari bahasa Arab ‘Kaabah’ (tempat suci paling suci Islam di Mekah), ‘Baitullah’ (Rumah Tuhan) dan ‘Solat’ (doa), dapat digunakan orang Kristen.

Hakim Nor Bee mengatakan perintah yang melarang penggunaan empat kata itu ilegal dan tidak konstitusional. “Kebebasan untuk menganut dan mengamalkan agama harus mencakup hak untuk memiliki materi keagamaan,” katanya yang dikutip di BBC Malaysia, Kamis (11/3).

Ini bukan pertama kalinya pengadilan Malaysia terpecah belah atas penggunaan kata "Allah". Dalam kasus terpisah, surat kabar Katolik setempat, The Herald, menggugat pemerintah setelah mengatakan tidak dapat menggunakan kata itu dalam edisi bahasa Melayu untuk menggambarkan Tuhan Kristen. Pada 2009, pengadilan yang lebih rendah memutuskan mendukung The Herald dan mengizinkan mereka menggunakan kata tersebut.

Keputusan ini memicu lonjakan ketegangan agama antara Muslim dan Kristen. Mengakibatkan lusinan gereja dan beberapa ruang sholat Muslim diserang dan dibakar.

Pada 2013, keputusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Banding, membuat larangan tersebut kembali berlaku. Namun pada Kamis (11/3), Muafakat Nasional Malaysia, sebuah koalisi politik, mendesak agar putusan Pengadilan Tinggi terbaru dirujuk ke Pengadilan Banding, yang akhirnya melahirkan pencabutan larangan oleh Pengadilan Tinggi. 

 

Sumber: malaymail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement