REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Fenomena pemaksaan penggunaan jilbab hingga diskriminasi di sekolah dinilai merupakan akibat dari kondisi pemikiran ekslusifisme beragama bagi orang-orang dalam satu kelompok mayoritas tertentu, dan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri merupakan jawaban yang telah lama ditunggu. Hal itu dikatakan oleh Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dalam diskusi virtual Indonesia Beragama, Rabu (24/2).
Dia menilai fenomena pemaksaan dalam berhijab tidak hanya dapat dilihat dari setiap kasus. Menurutnya, fenomena diskriminasi juga kerap terjadi pada kelompok agama minoritas di sekolah. Pengadaan tempat ibadah misalnya, dia menilai masih banyak sekolah yang dibiayai oleh negara yang masih melakukan diskriminasi.
"Ekslusifisme beragama yang kemudian terjadi klaim kebenaran. Ajaran yang saya yakini adalah ajaran yang paling benar," kata Alissa.
Selanjutnya, pemahaman eksklusifisme agama yang menilai dirinya paling benar akan berakibat pada penilai bahwa semua orang yang berbeda salah. Hal tersebut tentu juga diikuti dengan terbentuknya jarak dengan kelompok lain.
"Ketika ada pemikiran ajaran saya paling benar dan orang di luar yang selain ajaran saya itu salah, kemudian ada perasaan ada mayoritas maka di situlah terjadinya diskriminasi. Apa yang terjadi dalam persoalan jilbab adalah implikasi yang diakibatkan oleh kecenderungan ini," jelasnya.
Dia menilai, terbitnya SKB 3 Menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, serta Menteri Dalam Negeri merupakan jawaban atas sejumlah permasalah tersebut. Di mana negara hadir di tengah-tengah untuk membina perbedaan.
"SKB 3 Menteri ini akan menjadi sangat penting krusial tentang beragama di Indonesia. SKB 3 Menteri adalah jawaban yang sudah ditunggu-tunggu dari kasus yang terjadi," tutupnya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat (Sumbar) Yefri Heriani mengatakan, Ombusman perwakilan Sumatra Barat telah memberikan tindakan dan masukan menyusul kasus pemaksaan penggunaan kerudung di SMKN 2 Padang. Sejumlah pihak terkait seperti Kepala Sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan juga telah diminta melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan dan aturan berbusana di sekolah terkait.
Ombudsman Sumbar juga telah meminta agar tidak ada lagi pemaksaan seluruh siswa untuk hadir di kegiatan-kegiatan keagamaan di luar agamanya. Pengadaan guru agama Kristen dan Katolik di sekolah-sekolah, yang sudah memenuhi jumlah minimum, juga sudah diberlakukan, kata Yefri.
“Kita juga menganjurkan, melalui kepala dinas, agar ijazah, yang biasanya untuk seluruh siswi diharuskan mengenakan jilbab, kedepannya tidak lagi seperti itu. Itu beberapa hal yang kami sampaikan,” ujarnya menambahkan.
Menyusul kasus SMKN 2 Padang, pemerintah kemudian membuat kebijakan terkait seragam dan atribut melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Choulil Qoumas. Terdapat enam poin dalam kebijakan ini, yaitu:
- Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara : Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
- Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
- Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.