Tak hanya Khadijah, jilbab di Turki juga pernah “memakan” korban seorang anggota parlemen.
Setahun sebelum peristiwa Khadijah, tercatat nama Merve Kavakci, anggota parlemen yang datang ke gedung parlemen untuk pengambilan sumpah jabatannya dengan mengenakan pakaian yang menutup aurat.
Alih-alih diangkat menjadi anggota parlemen, yang ada ia malah dicabut kewarganegaraannya gegara selembar hijab yang dikenakannya.
Rentetan peristiwa yang terjadi di Turki itu kini menjadi catatan sejarah. Sejak tahun 2010, di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan, secara bertahap aturan itu dihapuskan.
Diawali dengan diperbolehkannya hijab dikenakan di kampus-kampus. Lalu diikuti pegawai negeri di tahun 2013, kepolisian di tahun 2016 dan militer di tahun 2017.
Saat ini beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang masih memberlakukan aturan larangan memakai hijab ke sekolah maupun kantor pemerintah, di antaranya adalah Tajikistan, Kyrgistan dan Tunisia.
Di Kyrgistan sempat viral video anak-anak yang bergerombol di depan gerbang sekolah. Mereka tidak diperkenankan masuk sebelum melepaskan hijabnya.
Di Tajikistan, pemerintahkan mengeluarkan buku panduan berpakaian. Tak hanya seragam sekolah, namun juga pakaian sehari-hari yang diatur tanpa hijab.
Di Tunisia, polisi sempat melakukan razia di jalan-jalan untuk mencegat Muslimah yang mengenakan hijab dan meminta mereka melepaskannya.
Namun, semenjak Revolusi Tunisia pada 2010/2011 yang kita kenal sebagai Arab Spring, perempuan Tunisia semakin longgar menggunakan hijab, tak lagi dirazia di jalan.
Apa yang terjadi di Turki harusnya menjadi pelajaran berharga, bagaimana negeri dengan 96% mayoritas pendudukannya beragama Islam, namun membuat UU yang justru mencederai umat Islam.
Butuh waktu 85 tahun untuk menghapus peraturan itu. Sebuah pesan dititipkan: Jangan sampai hal serupa terjadi di negeri tercinta.