REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Mohammad Amin Musthofa merupakan seorang pejuang dalam menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan keberanian dalam mengusir agresi penjajah Belanda. Tidak ada yang meragukan keberanian dan dedikasinya bagi bangsa dan negara
Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan, Muhammad Alfatih Suryadilaga, mengungkapkan keberanian Kiai Amin dalam mengusir penjajah dapat dilihat dari sepak terjangnya bersama laskar Hizbullah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk panggilan berjihad dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perjalanan di militer inilah yang dijalani Kiai Amin muda setelah menjadi santri KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang. Karena keahlian dan keberaniannya dalam melawan penjajah, Kiai Amin kemudian diangkat sebagai komandan Hizbullah.
Dalam tulisannya yang berjudul “KH Mohammad Amin Musthofa, Pelaku Sejarah 10 November 1945 dari Pantura”, Fathurrahim Syuhadi mengatakan, sebagai komandan tentara Hizbullah wilayah pantura yang meliputi Lamongan, Tuban, dan Gresik, Kiai Amin bersama ribuan santri berangkat ke Surabaya pada pertempuran 10 November 1945.
Turut serta dalam peperangan tersebut KH Abdurrahman Syamsuri, Kiai Ridlwan Syarqowi (pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran), KH Anwar Mu’rot, KH Adnan Noer (Blimbing), KH Anshory (Brondong), KH Sa’dullah (Blimbing) dan beberapa kiai lainnya.
Untuk pendanaan memobilisasi santri dan logistiknya, Kiai Amin menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin. Hal ini juga diikuti para kiai dan santri lainnya. Karena itu, kisah Kiai Amin cukup legendaris sampai sekarang.
Pada saat itu, menurut Fathurrahim, ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa Kiai Amin adalah orang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya. Dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom.
Kabar inilah yang kemudian membuat kepulangan Kiai Amin disambut ribuan orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Tapi, Kiai Amin mengatakan bahwa dirinya tidak mati bukan karena kebal, tapi karena bomnya meleset.
Setelah revolusi fisik, Kiai Amin tidak melanjutkan karier militernya lagi. Padahal, saat itu Kiai Amin sudah berpangkat mayor. Kiai Amin merasa lebih cocok menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Amin Tunggul, Pacitan, Lamongan.
Pada masa Agresi Belanda II, Kiai Amin bersama saudaranya, KH Muhtadi tertangkap dan ditembak Belanda di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Kiai Amin wafat pada usia 39 tahun, pada 13 Ramadhan 1368 Hijriah atau 9 Juli 1949.
Sebelum ditembak mati, Kiai Amin sempat mengajukan permintaan untuk mengumandangkan adzan terlebih dahulu. Kiai Amin dimakamkan di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro. Nama beliau menjadi nama salah satu jalan di Kota Lamongan.