Jumat 05 Feb 2021 05:37 WIB

Apa itu Kriminalisasi Ulama?

apa itu arti istilah kriminalisasi ulama

Ulama tempo dulu mengajar para santrinya.
Foto:

Kalau melihat dasar pengertiannya, ulama (dari bahasa Arab) adalah orang-orang yang berilmu. Dalam pengertian yang lebih khusus adalah pemuka agama atau seseorang yang dianggap pemimpin yang biasanya mengayomi, membina, atau membimbing umat Islam mengajarkan kebaikan dalam menghadapi hidup sehari-hari.

Untuk konteks sejarah masyarakat Indonesia, penggunaan kata ulama merupakan register dan terminologi agama umat Islam.

Berdasarkan itu, hal yang perlu dipahami adalah bahwa sangat banyak ulama di Indonesia. Pergilah ke kampung-kampung, maka hampir di setiap kampung di Indonesia, ada ulamanya. Dapat diduga bahwa jumlah ulama di Indonesia itu sangat banyak, mungkin ratusan ribu, mungkin jutaan, dalam segala level dan perjuangannya masing-masing.

Sayangnya, sangat banyak ulama di Indonesia tidak di kenal. Kalau dalam pemahaman tasawuf, justru ulama yang tidak dikenal tersebut sebagai ulama yang lebih utama.

Yang sering disalahpahami, kita menganggap bahwa ulama itu adalah mereka yang terkenal. Kalau tidak atau belum dikenal telah berdakwa ke sana ke mari, maka belum dianggap ulama. Mereka tidak lebih hanya sebagai ustad atau guru yang mengajarkan agama. Guru atau ustad kadang belum bisa disetarakan dengan ulama.

Padahal, dengan kemantaban hatinya, dan ketenangan dalam hidupnya, sangat mungkin merekalah ulama sesungguhnya. 

Mengingat begitu banyak ulama di Indonesia dan mengingat mereka adalah manusia biasa juga, maka sangat mungkin satu atau lebih di antara mereka, sekali lagi sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan.

Kita bisa menghitung berapa orang ulama yang dianggap atau dinilai melakukan kesalahan/pelanggaran hukum di ruang publik. Kalau melihat persentasinya, tentulah sangat kecil. Persentasi yang sangat kecil itu tidak lantas dapat dinilai sebagai kriminalisasi ulama. 

Ulama adalah institusi simbolik, bahkan menjadi institusi struktural (antara lain Majelis Ulama Indonesia, MUI), yang sangat diperlukan dan sangat berharga.  Akan tetapi, ulama, bahkan MUI, bukan lembaga sakral yang seolah tidak dapat diperkarakan jika seseorang yang dianggap ulama telah melakukan kesalahan (bahkan kejahatan) di ruang publik, apalagi kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Hal itu, dalam konteks dan struktur yang berbeda, seperti presiden, menteri, gubernur, dan sebagainya. Tidak ada seorang pun, tidak peduli orang tersebut presiden, jika telah dinilai melakukan kesalahan atau kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, orang tersebut harus diperkarakan secara hukum. 

Tentu harus ada proses klarifikasi dan berbagai pembuktian yang bertanggung jawab, untuk sifat dan bentuk kesalahan dan kejahatan yang berbeda-beda. Kita serahkan hal tersebut pada proses hukum yang berlaku.

Dalam hal ini, para aparat yang terlibat mengurus hal itu, sangat harus bekerja secara profesional, jujur, adil, dan transparan. Jika aparat melakukan kesalahan, orang tersebut juga layak diperkarakan. Hal itu juga sekaligus mengajarkan kita bersama bahwa kita tidak boleh membedakan kesetaraan manusia di depan hukum. 

Dulu, untuk mendapat julukan ulama, kiai, bukan hal mudah. Diperlukan suatu konsekrasi yang lama dan tekun, dengan pembuktian ahklak yang konsisten, untuk mendapat gelar ulama atau kiai dari masyarakatnya.

Sekarang, dengan teknologi media sosial yang ramah dan mudah, dengan bekal keberanian, ambisi, dan pengetahuan dengan batas tertentu, seseorang dengan mudah kemudian dikenal sebagai ulama.

Kasihan juga terhadap ulama yang sesungguhnya, karena citra dan institusi keulamaan menjadi cidera. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement