REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ajaran Islam melarang keras menentang dan menghina para ulama. Meski di zaman sekarang ini telah bercampur antara ulama asli atau rusyd (lurus) dan ulama palsu atau ulama suu' (buruk).
Syekh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam kitabnya "Fadhail al-A’mal" menyampaikan dua nasihat bagaimana agar kita umat Islam tidak terjerumus pada kenistaan dengan mencela dan menghina para ulama.
Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama 'suu' janganlah sekali-kali kita membuat kesimpulan apapun terhadapnya. Dalam surat Al-isra ayat 36 Allah SWT mengingatkan tentang hal ini:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu melakukan suatu tindakan yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya."
Syekh Muhammad Zakariyya mengatakan jika hanya berdasarkan prasangka buruk bahwa mungkin dia termasuk ulama suu', sebelum memperoleh kejelasan terlebih dahulu kemudian kita menolak ucapannya, hal itu merupakan kezhaliman yang besar.
Selain Allah SWT yang mengingatkan kita dalam firman-Nya surat Al-Isra’ jangan menghakimi orang lain salah jika tak memiliki pengetahuan tentangnya, juga diingatkan Rasulullah SAW.
Ketika itu, sorang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab dan memperdengarkannya kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Terkait hal ini baginda SAW bersikap sangat hati-hati terhadap apa yang disampaikan seorang Yahudi itu. Beliau bersabda, "Wahai kaum Muslimin janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula mendustakannya.
Namun beliau menyarankan agar kita mengatakan. "Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah SWT."
"Maksudnya, meskipun itu ucapan orang kafir janganlah kita membenarkan atau mendustakannya begitu saja sebelum kita mendapatkan kepastian," kata Syekh Muhammad Zakariyya.
Akan tetapi, kata Syekh Muhammad Zakariyya, yang terjadi kini sebaliknya, apabila ada orang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kita, kita akan menyerang dan menjatuhkannya, walaupun pada kenyataannya dia benar.
Kedua, perkara penting yang harus kita ingat bahwa ulama yang haq ulama yang lurus dan ulama yang baik juga tidak lepas dari sifat kemanusiaan. Karena kata Syekh Muhammad yang 'ma'shum' hanyalah para nabi ‘alaihimus salam.
"Oleh sebab itu jika ada kesalahan, kelemahan dan kekurangan pada diri mereka maka itu tanggung jawab mereka sendiri," katanya.
Karena hanya Allah SWT yang berhak menentukan apakah azab atau ampunan bagi mereka. Insya Allah kata Syekh Muhammad, kemungkinan besar kesalahan-kesalahan mereka akan diampuni Allah SWT sebagaimana majikan yang pemurah yang menyuruh pembantunya meninggalkan urusan pribadinya dan menyibukkan diri dalam tugas yang diberikan oleh majikannya, sudah pasti majikan itu akan mudah memaafkannya.
"Apalagi Allah SWT, yang tidak ada majikan yang lebih pemula daripada-Nya. Kalaupun dengan keadilan-Nya, Allah menyiksa seseorang itu itu urusan Allah SWT bukan urusan kita," katanya.
Syekh Muhammad mengatakan, orang yang mengajak umat untuk berprasangka buruk kepada para ulama, membenci para ulama dan berusaha menjauhkan umat dari para ulama adalah penyebab rusaknya agama umat. Orang yang berbuat demikian akan mendapat bencana besar. Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:
ليس منَّا مَنْ لم يُجِلَّ كبيرَنا ، ويرحمْ صغيرَنا ! ويَعْرِفْ لعالِمِنا حقَّهُ
"Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang yang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan para ulama." (HR Ahmad, Thabrani, Hakim dari kitab At-Targhrib).
عن أبي أمامة عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال : " ثلاثة لا يستخف بهم إلا منافق : ذو الشيبة في الإسلام ، وذو العلم ، وإمام مقسط "
Dari Sayyidina Abu Umamah RA, baginda Rasulullah SAW bersabda "Ada tiga jenis manusia yang tidak merendahkan mereka kecuali orang munafik, yaitu orang Muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang adil." (HR Tabrani dari kitab At-Targhib).