REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Salahuddin El Ayyubi, Lc MA*
Pada Hari Minggu ku turut ayah ke kota
Naik delman istimewa ku duduk di muka
Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
Tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk
Tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak suara s'patu kuda
Siapa yang tidak kenal dengan lagu ini? Bagi generasi milenial boleh jadi lagu ini memang kurang popular bahkan cenderung hampir tidak mengenal. Tapi bagi mereka yang tumbuh di era 80 an atau 90 an lagu ini sangat akrab di telinga. Tapi bukan soal lagu itu yang ingin penulis sampaikan, tetapi soal ‘Wakaf Uang’ yang lagi santer di jagad raya media sosial saat ini. Sebagian memandang bahwa ini hanya dianggap sebagai ‘kuda tunggangan’ kepada umat.
Bayangkan saja, berdasarkan data dari Sistem Informasi Wakaf 2016 ada sekitar 4 359.44 km2 atau sekitar 435 944.3 hektare tanah wakaf yang baru dimanfaatkan untuk mushola, masjid, makam, sekolah, pesantren, dan kegiatan sosial lainnya atau hampir 70 persen lebih belum dikelola secara produktif.
Bagaimana dengan potensi wakaf uang? Dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237 juta jiwa yang mana 87 persen merupakan beragama Islam (BPS 2010), maka wakaf uang dapat terhimpun sebanyak Rp 60 triliun setiap tahunnya.
Jumlah ini dapat dicapai dengan asumsi 50 juta jiwa umat Muslim mengeluarkan wakaf uang sebesar Rp 100 ribu setiap bulannya. Kalau itu potensinya, bagaimana dengan riilnya? Angka riil wakaf uang yang telah dihimpun tujuh lembaga nazir nasional hanya mencapai Rp 32 miliar (Khadijah 2016). Tentu saja angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi yang ada.
Terlepas dari pro kontra yang ada, seharusnya ‘keriuhan’ ini patut disyukuri karena selama ini wajah wakaf itu digambarkan dengan masjid atau yang lebih parah lagi kuburan. Umat terbelalak matanya, ternyata potensi wakaf uang itu besar. Lompatan peningkatan literasi umat sedang terjadi tanpa disadari. Umat mulai belajar dan mencari tahu apa yang dimaksud dengan wakaf?
Bagaimana kita menyikapi isu ini? Sebenarnya, dari aspek teoritis banyak sekali kita akan menemukan beragam literatur yang menyebutkan hal tersebut. Misalnya bicara soal defenisi wakaf Mazhab Abu Hanifah, Malikiyah, maupun Syafi’iyyah dengan beragam kalimat namun sampai pada satu kesamaan bahwa bahwa wakaf merupakan perbuatan waqif (pewakaf) dalam melepas hak kepemilikan harta benda untuk dikelola agar menghasilkan manfaat yang dapat diberikan untuk kebaikan dan wakif tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum atas benda tersebut, seperti menghibahkan, menjual, atau mewarisi.
Konsep wakaf uang sendiri ulama Mazhab Syafi’iyah seperti Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berpendapat tidak boleh mewakafkan dinar dan dirham karena akan lenyap dengan dibelanjakan dan sulit akan mengekalkan zatnya. Memang ada juga ulama Syafi’iyyah yang mengizinkan wakaf uang seperti Abu Sur, namun pendapatnya dibantah Imam Mawardi, Ibn Qudamah, Imam Ramli, serta Imam Muhammad al-Khathib al- Syarbini bahwa hukum wakaf uang tidak sah.